Dunia fesyen menawarkan berbagai kreasi kreatif dari para perancang busana. Salah satunya busana dari bahan baku
recycle. Padu padan kain serta kreativitas membuat busana tampil elegan dan unik. Pangsa pasarnya kalangan menengah ke atas. Industri fesyen di Indonesia bisa dibilang sudah cukup maju. Hasil rancangan desainer lokal sudah bisa bersaing dengan para perancang busana dari luar negeri. Ide dan kreativitas perancang busana lokal memang tidak diragukan lagi. Berbagai ide kreatif selalu ditampilkan di berbagai kesempatan. Tidak hanya menggunakan kain baru yang dipotong sesuai pola, ada pula desainer yang memanfaatkan berbagai bahan kain bekas untuk didesain ulang.
Sebab, banyak kain yang berkualitas baik yang sudah tidak digunakan lagi, entah karena memang penggunanya sudah bosan atau dari hasil praktik mahasiswa desain busana di sekolah-sekolah fesyen. Daripada kain-kain tersebut hanya menjadi limbah, di tangan para desainer kreatif, bahan-bahan pakaian ini bisa didesain ulang menjadi pakaian yang bernilai jual tinggi. Salah satu perancang busana yang menjalankan bisnis recycle fashion ini adalah Catherine Emilia. Dia mengatakan, memang menjalani bisnis recycle fashion tidak mudah dan menjadi lebih menantang daripada menjalani bisnis fesyen pada umumnya. Di satu sisi, perancang busana tidak harus memikirkan butuh memotong berapa meter kain untuk membuat sebuah busana, lantaran kain yang digunakan sudah berbentuk potongan-potongan. Perancang busana dituntut untuk menuangkan ide dan kreativitas yang tinggi agar busana bisa tetap nyaman dipakai dan cocok untuk konsumen. "Kesulitannya adalah bagaimana potongan-potongan kain itu harus dibentuk, dipadupadankan agar menjadi busana yang memiliki estetika tinggi serta bernilai jual," ujar wanita yang akrab disapa Emil ini. Lewat brand produk Nobis Pacem, Emil menekuni recycle fashion sejak tahun 2012. Emil pernah memanfaatkan corduroy bekas berbahan dasar katun dan poliester untuk menghasilkan sebuah busana. Untuk memunculkan corak karat di kain, dia menimbun kain di tanah yang dililitkan di besi selama 1,5 bulan. Awalnya Emil memang gemar mengumpulkan berbagai produk bekas pakai dan dibuat sesuatu agar kembali berdaya guna. Sewaktu SMA Emil pernah membuat tas dari kertas majalah. Kebiasannya ini berlanjut hingga dia menjalani profesi sebagai perancang busana. Sementara Ramadhani Abdul Kadir, perancang busana asal Yogyakarta, tidak hanya menggunakan kain-kain potongan dari pakaian bekas pakai, namun juga menggunakan bahan dari selimut, gorden dan lainnya. Untuk proses kreatif dalam desain koleksi edisi terbatas, desain tidak digambar terlebih dahulu karena bahan bakunya dari berbagai kain recycle. "Ini soal kejelian, kreativitas dan kepedulian terhadap lingkungan," ujar Ramdhani. Biasanya pangsa pasarnya adalah kalangan menengah ke atas. Biasanya, kalangan ini membutuhkan desain yang unik karena ingin tampil beda lantaran gaya hidup mereka. Ramdhani bilang, tidak ada kriteria dalam memilih bahan untuk bahan baku recycle fashion ini, yang terpenting adalah kreatifitas serta kenyamanan bagi penggunanya. Harga jual tinggi Proses produksi recycle fashion diakui Emil tidak mudah dan menantang. Secara garis besar dia membagi proses produksi Nobis Pacem ke dalam tiga tahap, yakni pemilahan kain, pengamatan jenis kain, meliputi tekstur, ukuran serta bentuknya, dan yang terakhir penyesuaian desain, meliputi kecocokan penggunaan, tampilan dan fungsi. Emil mendapatkan bahan baku kain dari para penjahit, penjual kain, desainer dan sekolah-sekolah fesyen. Emil pernah juga membuat busana dari karung goni. Bahan baku ini cukup rumit untuk diolah. "Prosesnya agak lama karena harus dicuci dulu berkali-kali, setelah itu dikeringkan, disetrika uap, terus dilapisi pakai fusible lining biar kainnya jatuh dan tidak berubah pas dipotong atau dijahit," jelas Emil. Sementara, Ramdhani memasok bahan baku kain dari para perajin busana di seputar Yogyakarta, Bantul, Klaten dan Solo. Lantaran sarat akan kreativitas, harga produk busana yang dihasilkan dari recycle fashion ini cukup mahal. Emil menjual busana hasil daur ulang ini mulai dari Rp 350.000 hingga Rp 2,5 juta per potong pakaian. Sementara, busana hasil daur ulang rancangan Ramdhani dijual berkisar Rp 850.000 per potong.
Rory Wardhana, perancang busana asal Solo, juga memanfaatkan beberapa kain perca mulai dari bahan gorden, sisa kain sifon, sutra, ditches, sifon chrep, tulle, satin, brokat, batik, dan lainnya untuk dibuat kembali menjadi busana. "Kain kecil yang ukuran 2 cm x 2 cm saja bisa menghasilkan sesuatu," ucap Rory. Busana rancangan Rory banyak digunakan oleh kalangan masyarakat awam hingga artis. Sebut saja, Putri Indonesia wakil Yogyakarta, Indra Bekti, Afgan, grup vokal Warna dan lainnya. Harga jual busananya mulai dari Rp 300.000 hingga jutaan rupiah per potong. Dia merancang busana siap pakai maupun busana pesanan untuk acara tertentu. Rory kerap menggunakan kain khas Indonesia seperti tenun, tapis, batik, jumputan, lurik, songket, dan lainnya. Rory mengaku dari penjualan semua busana buatannya baik yang daur ulang dan yang tidak, dia bisa meraup omzet hingga Rp 50 juta per bulan. Sementara Ramdhani bisa menjual total busana sebanyak 50 potong per bulan dengan omzet puluhan juta rupiah per bulan. Bicara soal rancangan, Rory mengatakan hampir keseluruhan desain ditentukan olehnya sendiri. Mulai dari proses pencarian bahan kain, desain dan gambar baju, mengukur baju klien, hingga memotong dan menjahit. "Ada juga pegawai yang bantu potong bahan, tetapi untuk membuat aksesori sepenuhnya aku," ujarnya. Rata-rata Rory membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk membuat satu potong busana
recycle yang eksklusif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi