KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan bioetanol di sektor transportasi berpotensi menekan emisi karbon yang dihasilkan. E tanol dianggap menjadi salah satu bahan kimia terbaik untuk digunakan sebagai campuran bensin karena selain dapat meningkatkan kadar oktan (octane enhancer) dalam bensin, juga mengeluarkan gas emisi yang jauh lebih rendah dibanding bensin murni. Studi menyebutkan dengan menerapkan program E10 dalam campuran bensin, dapat meningkatkan nilai oktan hingga 3-4 tingkatan. Peneliti Senior dari ITB sekaligus Ketua Pusat ITB Sustainable Development Goals Tirto Prakoso mengungkapkan, keberhasilan beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat, Thailand dan Filipina harus menjadi pembelajaran untuk Indonesia dalam memperkenalkan bioetanol di pasar domestik.
"Terlebih lagi, saat ini komponen terbarukan dalam campuran bensin di Indonesia belum ada, ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan bioetanol dalam produk bensin di Indonesia. Belum lagi Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki potensi bahan baku ethanol cukup besar, ini harus dikembangkan dengan baik," kata Tirto dalam Webinar, Rabu (25/8).
Baca Juga: Tiga program prioritas Pertamina wujudkan ekonomi hijau berkelanjutan Tirto menambahkan, ada manfaat jangka panjang dari pemanfaatan bioetanol antara lain menciptakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian serta merangsang pertumbuhan industri pengolahan etanol domestik. Tirto mengungkapkan, dengan sejumlah dampak tersebut, maka ke depannya Indonesia tidak tergantung oleh impor bahan bakar jadi dan impor minyak mentah. Selain itu, juga ada dampak positif pada lingkungan yang dihasilkan. Sejatinya, jika menilik ke belakang, Indonesia sebenarnya pernah melakukan implementasi bioetanol di dalam negeri, namun program terhenti dari tahun 2014 hingga sekarang. Hal ini membuat para pemain industri dalam negeri seperti sudah kehilangan appetite untuk menumbuhkan industri bahan bakar berbasis etanol. Adapun, implementasi bioetanol di Filipina pada kurun 2009 sampai 2016 telah memberikan dampak positif seperti pengurangan emisi karbon sebesar 10 metrics ton atau sekitar 55,5% lebih rendah dibanding emisi dari bensin murni campuran MTBE, penghematan forex sebesar 48 miliar peso Filipina, penghentian penggunaan MBTE pada bensin dan terciptanya lapangan pekerja di pedesaan di sektor pertanian hingga 1,2 juta pekerja.
Baca Juga: Indonesia dinilai diuntungkan dari naiknya komoditas Sedangkan di Australia, implementasi program bioetanol pada 6 pabrik bioethanol berkapasitas masing-masing 100 juta liter memiliki dampak yang sangat positif. Dampak itu antara lain pengurangan gas emisi sebesar 2,6 juta ton per tahun, menciptakan lapangan pekerjaan hingga 4.000 secara total, yang terdiri dari sekitar 1.000 pekerjaan di wilayah sekitar pabrik pengolahan (direct jobs) dan sekitar 3.000 indirect jobs, meningkatkan modal investasi daerah hingga US$720 juta dan pendapatan tahunan sebesar US$500 juta, serta meningkatkan kapasitas produksi baru etanol dalam negeri yang diproyeksikan sekitar 550 juta liter per tahunnya. Pembicara dari Australia, Keith Sharp menyebutkan tren sektor transportasi dewasa ini mengarah ke kendaraan berbasis baterai (Electronic Vehicle/EV) yang memproduksi zero gas emisi karbon. Namun perlu disadari tren tersebut sulit terealisasi dalam 10 hingga 20 tahun mendatang. Menurutnya kendala di dalam pengembangan keekonomian dari EV, harga EV masih sangat mahal. Isu lain adalah suplai listrik untuk EV masih didominasi dari energi fosil seperti batubara dan gas alam. "Ini jelas tidak ideal dari perspektif perubahan iklim. Maka dari itu, sebelum menujuk ke tren EV dalam 10-20 tahun ke depan bioetanol bisa menjadi alternatif dekarbonisasi di sektor transportasi," pungkas Keith.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli