Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia Masih Rendah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan masih rendahnya pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia karena menghadapi sejumlah tantangan. 

Berdasarkan data Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) pemanfaatan EBT baru 4% atau sekitar 147,4 Giga Watt (GW) dari total potensi yang ada sebanyak 3.865 GW. 

Selain itu dari data Kementerian ESDM hingga kini bauran energi terbarukan baru mencapai 14,11% di 2022. Sedangkan pada 2025 mendatang, bauran energi terbarukan dalam energi primer sudah harus mencapai 25%. 


Baca Juga: TKDN untuk Proyek Pembangkit Hijau Diusulkan Fleksibel

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan, sumber energi baru terbarukan di Indonesia jumlahnya besar, tersebar, dan beragam. 

Tidak banyak negara di dunia yang memiliki keberagaman sumber EBT seperti Indonesia. Misalnya saja India memiliki PLTS terbesar dan Arab mengoperasikan PLTS termurah, tetapi kedua negara ini hanya mempunyai sumber energi terbarukan berupa sinar matahari saja.  

“Dengan sumber beragam dan tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia barat sampai timur ini, tentu memberikan suatu peluang dan tantangan,” ujar Dadan dalam acara EBTKE ConEx, Rabu (12/7). 

Tantangan pertama ialah masih adanya kelebihan listrik di sejumlah wilayah di Indonesia. Namun lubernya listrik ini belum bisa disebar ke seluruh penjuru negeri karena infrastruktur transmisi yang belum mendukung. 

Maka itu, lanjut Dadan, saat ini bagaimana pemerintah memastikan infrastruktur bisa mengevakuasi sumber daya energi pada pusat beban. 

Tantangan kedua ialah dari sisi teknologi di mana kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) cukup menghambat pengembangan EBT di Indonesia. 

Pasalnya, saat ini produk komponen energi terbarukan yang diproduksi dalam negeri, tidak bisa digunakan karena ketinggalan zaman dan kurang efisien. 

Dadan memberikan gambaran, Indonesia sudah memiliki 26 pabrik panel pembangkit surya, tetapi pada umumnya memproduksi panel surya ukuran 250 wattpeak. Sedangkan saat ini, kebanyakan pengguna panel surya sudah masuk ke generasi 650 watt peak. 

“Kita akan pake yang mana? Yang satu efisiensi bisa sampai 27% dan satu lagi hanya 20-an%. Perbedaannya nanti harga listrik ke masyarakat dan PLN bisa jadi lebih mahal karena biaya (cost) lebih besar,” ujarnya. 

Berdasarkan tantangan tersebut, Dadan menyebut, diperlukan upaya khusus untuk mengoptimalkan kombinasi antara potensi, pendanaan, dan infrastruktur secara nasional. 

Salah satu upaya yang saat ini sedang dilakukan ialah mendukung pengembangan EBT dari sisi regulasi melalui Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). 

Kemudian dari sisi infrastrktur, pemerintah mendorong pembangunan transmisi listrik dan elektrifikasi melalui kendaraan listrik. 

Dadan mengakui bahwa saat ini bauran energi terbarukan masih rendah karena pemanfaatan fosil naik lebih tinggi. 

“Sekarang kan EBT sebelum tahun kemarin (2021) dari sisi EBT lebih besar nambahnya dibandingkan tahun lalu (2022). Tetapi fosil naik lebih tinggi sehingga presentase turun,” ujarnya. 

Baca Juga: Pembahasan RUU EBET Diperpanjang, Proses Terkini Belum Sampai Setengah Jalan

Namun ia yakin, akan ada suatu titik di mana pemanfaatan energi fosil akan melambat dan menurun karena diganti cepat dengan EBT. 

Dadan menegaskan, pihaknya akan membuktikan di 2025 di mana bauran energi terbarukan akan mencapai 23%. 

“2025 adalah puncak dari kerja sama semua yang berlangsung sejak 11 tahun ini. Pasti ini akan dipertanyakan di akhir 2024 karena target 23% sudah kami sampaikan di 2014 lalu” ujarnya. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyebut tantangan transisi energi muncul dari sisi pendanaan karena regulasi yang ada. 

“Financing sangat rumit dan menantang. saya Menteri Keuangan aktif menyuarakan ini untuk aksi perubahan iklim,” ujarnya pada kesempatan yang sama. 

Di dalam pertemuan tingkat menteri yang dilakukan para menteri-menteri keuangan, dirinya bersama dengan Menteri Keuangan Netherlands berupaya memobilisasi gerakan yang fokus mengoptimalkan sumber pendanaan untuk mendukung aksi perubahan iklim. 

Salah satu yang diutarakan Sri Mulyani ialah pendanaan transisi, khususnya untuk pemensiunan dini pembangkit batubara. 

Selama ini, pendanaan sulit keluar untuk proyek yang bersinggungan dengan energi fosil. Padahal lewat pemensiunan dini PLTU, pembangkit yang sudah dibangun bisa terus dimanfaatkan dengan energi terbarukan. 

“Kami di Kementerian Keuangan bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di dalam ASEAN Finance Minister meminta aturan mengenai pendanaan transisi diakui, bukan dihukum (dengan tidak diberikan pembiayaan),” ujarnya. 

Diakuinya pendanaan transisi dari batubara ke energi hijau akan dimasukkan ke dalam ASEAN Taxonomy for Sustainbale Finance Versi 2.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .