Pemanggilan RRI oleh DPR dinilai intimidasi



JAKARTA. Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Dwipayana berpendapat, pemanggilan Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Komisi I DPR merupakan bentuk intimidasi. Ia mempertanyakan mengapa Komisi I DPR tidak memanggil RRI saat lembaga penyiaran tersebut melakukan hitung cepat pada pemilu legislatif 9 April lalu."Komisi 1 intimidatif pada RRI. Memanggil itu sebagian dari intimidasi," ujar Arie saat dihubungi, Senin (14/7/2014).Menurut Arie, RRI terdata secara resmi di Komisi Pemilihan Umum. RRI dinilainya memiliki kredibilitas karena hasil hitung cepat RRI saat Pileg kemarin memiliki kedekatakan dengan hasil KPU (lihat tabel di atas). Menurut dia, tidak bisa RRI disebut lembaga "abal-abal". Arie menuturkan, RRI memiliki sumber daya manusia dan teknologi yang kompeten dalam melakukan hitung cepat."RRI punya SDM yang mumpuni, untuk quick count punya teknologi. Dia punya anggaran yang tanpa terlalu besar, tapi sanggup membiayai hitung cepat," kata Arie.Berbeda dengan lembaga survei lain, tambah dia, yang harus membayar tenaga lebih untuk melakukan hitung cepat. RRI memiliki staf dan jaringan di seluruh Indonesia."Ini ironi, kenapa mereka tidak melakukan pemanggilan pasca-pileg? RRI ini sudah melakukan quick count saat pileg," ucap Arie.Sebelumnya, Komisi I DPR berencana memanggil jajaran direksi RRI pasca-hasil hitung cepat lembaga itu disiarkan di sejumlah lembaga penyiaran. (baca: Komisi I Akan Panggil RRI karena Lakukan "Quick Count")Hasil hitung cepat RRI menunjukkan, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul dengan perolehan 52,71 persen. Adapun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 47,29 persen."Komisi I berencana memanggil jajaran direksi RRI terkait penayangan quick count mereka di sejumlah lembaga penyiaran," kata Ketua Komisi I yang juga anggota timses Prabowo-Hatta, Mahfud Siddiq. (Arimbi Ramadhiani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie