Pemanggilan saksi terus dilakukan terkait dugaan kasus korupsi di LPEI



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak memulai penyidikan dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada Juni lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melakukan pemanggilan saksi untuk mengungkap kasus tersebut. Adapun, lonjakan kredit macet (NPL) LPEI di tahun 2019 yang sebesar 23,39% menjadi awal dari dugaan kasus korupsi yang menarik perhatian Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kejagung pun menilai pembiayaan LPEI kepada sembilan debitur dilakukan tanpa prinsip tata kelola yang baik. Akibatnya, NPL meningkat dan perusahaan mencatatkan kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun.

Saat ini, Kejagung sudah mulai melakukan pemeriksaan beberapa saksi untuk memperdalam penyidikan. Terbaru, ada empat saksi yang diperiksa pada Selasa (12/10), di antaranya Z sebagai Analyst pada Divisi Analisa Risiko Bisnis pada LPEI, KW sebagai Kepala Departemen Analisa Risiko, RP sebagai Analyst pada Divisi Analisa dan Risiko Bisnis, Unit Reviewer LPEI, dan ITK yang merupakan Direktur Utama PT. Permata Sinita Kemasindo.


“(Keempatnya) diperiksa terkait penerimaan fasilitas kredit pada debitur LPEI,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak.

Baca Juga: Kejagung periksa satu saksi terkait perkara dugaan korupsi di LPEI

Pekan lalu, Kejagung juga telah memeriksa satu saksi terkait proses pencairan dan pembayaran fasilitas kredit pada LPEI. Adapun, saksi tersebut ialah YA yang merupakan bagian dari Departemen Administrasi & Kontrol Eksposure LPEI periode tahun 2014-2017.

Leo pun bilang pemeriksaan saksi ini dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan untuk menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.

Sebelumnya, LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.

Laporan sistem informasi manajemen resiko menyebut para debitur dalam posisi collectability 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019. LPEI diduga menyalurkan pembiayaan ekspor tanpa prinsip tata kelola yang baik sehingga NPL naik hingga 23,39% pada 2019. 

Menanggapi hal tersebut, Corporate Secretary LPEI Agus Windiarto pun menegaskan bahwa proses penyidikan di Kejagung saat ini terkait kasus yang terjadi pada periode 2014-2018. Oleh karenanya, saat ini LPEI pun terus mengikuti proses dan berusaha untuk bersikap kooperatif.

“Kami akan mengikuti proses sesuai ketentuan yang berlaku dan bersikap kooperatif selama proses hukum berlangsung sebagai bentuk tanggung jawab LPEI dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance,” ujar Agus kepada KONTAN, Selasa (12/10).

Agus juga bilang kalau saat ini pihaknya berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan dan meningkatkan kapasitas usaha untuk mendukung sektor yang berorientasi ekspor sesuai dengan mandat. “Kami menghargai perhatian dan dukungan media kepada LPEI dalam menjalankan mandatnya dan membantu pemulihan ekonomi nasional,” imbuhnya.

Jika menilik Laporan Keuangan LPEI pada semester pertama yang lalu, posisi NPF dari perusahaan mulai menunjukkan perbaikan yang berada di level 8,55%. Sebagai perbandingan, di akhir tahun lalu NPF nya masih berada di level 11,49%.

Sementara itu, laba tahun berjalan LPEI mengalami peningkatan dari akhir tahun lalu sebesar 164,87% menjadi Rp 234,1 miliar. Peningkatan laba tersebut juga tertahan oleh beban penyisihan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang masih meningkat menjadi Rp 122,1 miliar dari akhir tahun lalu yang sebesar Rp 9,2 miliar.

Selanjutnya: LPEI fasilitasi pembiayaan khusus ekspor bagi UMKM di Indonesia bagian timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .