Pemangkasan produksi warnai harga batubara



JAKARTA. Penurunan harga batubara membuat sejumlah produsen berencana mengurangi produksi dan pada akhirnya memangkas jumlah karyawan. Sejumlah produsen besar di Afrika Selatan seperti Lonmin Plc, Anglo American Plc, dan Scaw Metals Group berencana memangkas produksi dan mengurangi hingga 10.000 tenaga kerja. Namun, upaya tersebut rupaya ditentang oleh Presiden Afrika Selatan, Jacon Zuma lantaran bertentangan dengan target negara tersebut untuk terus menambah lapangan kerja.

Perdebatan soal pemangkasan produksi di Afrika Selatan turut berdampak pada pergerakan harga batubara. Pasalnya, batubara saat ini terus mengalami kelebihan pasokan sementara permintaan justru turun.

Wahyu Tri Wibowo, Analis Central Capital Futures memaparkan produksi batubara memang perlu dipangkas jika permintaan turun. Pasalnya, jika harga terus menurun, banyak perusahaan batubara yang merugi hingga bangkrut. "Hal tersebut akan menekan ekonomi sehingga akan semakin menekan harga komoditas," paparnya.


Wahyu memperkirakan pelemahan harga batubara akan semakin buruk jika dollar Amerika Serikat (AS) menguat. Pergerakan dollar AS yang semakin menguat diantara mata uang dunia lainnya membuat kondisi perekonomian global semakin tertekan. Apalagi, spekulasi kenaikan suku bunga The Fed tahun ini semakin melambungkan USD.

Di sisi lain, perlambatan ekonomi di China membuat Negeri Panda itu mengurangi kebutuhan batubara, termasuk impor. Hal tersebut juga berkaitan dengan isu lingkungan, mengingat penggunaan batubara dapat mencemarkan lingkungan. Langkah China ini seiring dengan Amerika Serikat yang juga bertekad untuk mengurangi konsumsi batubara dan menggantinya dengan energi ramah lingkungan. Lebih lanjut, harga batubara mengikuti harga minyak mentah dunia yang juga terus melorot.

Wahyu memaparkan, isu lingkungan telah menekan harga batubara sejak tahun 2011, sementara pelemahan harga minyak sudah terjadi sejak tahun 2013. Pelemahan harga batubara saat ini bahkan sudah mencapai 50% dari harga di tahun 2011 yang mencapai US$ 140 per metrik ton.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie