Ironi Banten: kaya tetapi infrastruktur telantar



JAKARTA. Banten. Provinsi ini belakangan sedang populer, menjadi buah bibir, menyusul sang Gubernur Ratu Atut Chosiyah terseret dalam pusaran besar kasus dugaan suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.

Meski namanya tercoreng, Banten adalah provinsi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di daerah ini bercokol lapangan terbang paling besar dan paling sibuk di Indonesia, Bandara Soekarno Hatta. Lalu, provinsi ke-30 tersebut juga ada pelabuhan penyeberangan terbesar di negara kita: Pelabuhan Merak.

Dan, nama Banten bakal makin melambung kalau megaproyek Jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra dibangun. Di provinsi paling Barat Pulau Jawa ini terdapat 19 kawasan industri yang tersebar dari Tangerang sampai Cilegon dengan total luas 8.103 hektare (ha).


Belum lagi kawasan perumahan dan pusat perbelanjaan yang tumbuh menjamur di Kota Tangerang, Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang. “Kawasan Tangerang Raya, yakni Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, serta Tangerang Selatan menyumbang 68% ekonomi Banten,” ungkap Dahnil Anzar, pengamat ekonomi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang.

Secara geografis, Banten memang memiliki posisi yang strategis karena menjadi penghubung antara Jawa dan Sumatera. Selain bertetangga dengan Ibukota RI, Jakarta.

Tak heran, dengan posisinya yang sangat strategis dan potensial secara ekonomi, Banten menjadi salah satu daerah tujuan investasi di Indonesia. Nilai investasi yang masuk setiap tahun terus meningkat.

Tengok saja, tahun 2010, realisasi nilai penanaman modal dalam negeri (PMDN) di Banten masih Rp 5,85 triliun atau sekitar 9,65% dari total nilai PMDN di Indonesia sebesar Rp 60,63 triliun. Sedang penanaman modal asing (PMA) di tahun yang sama US$ 1,54 miliar atau sekitar 13,06% dari total nilai PMA di Indonesia yang mencapai US$ 10,82 miliar. Total, realisai investasi di Banten tahun 2010 sebesar Rp 19,71 triliun.

Realisasi Investasi Di Banten (US$ juta)
  2011 2012 Q1-2013 Q2-2013
  Proyek Investasi Proyek Investasi Proyek Investasi Proyek Investasi
Penanaman Modal Asing 361 2.171,7 405 2.716,3 143 1.109,3 151 1.264,0
Penanaman Modal Dalam Negeri 83 4.298,6 66 5.117,5 19 726,0 25 2.301,8
Sumber: BKPMPT Provinsi Banten
Masuk tiga besar

Tapi, di paro pertama 2013, total realisasi investasi di Banten sudah mencapai Rp 25,98 triliun. Dengan perincian, PMDN sebesar Rp 3,02 triliun dan PMA US$ 2,37 miliar. Raihan ini menempatkan Banten di posisi kedua setelah Jawa barat untuk nilai investasi PMA, dan urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Kalimantan Timur untuk investasi PMDN.

Realisasi investasi di Banten sepanjang Januari hingga Juni tahun ini untuk PMA berada di tujuh kabupaten/kota, yakni di Kota Serang, Cilegon, Tangerang Selatan, dan Serang, lalu Kabupaten Serang, Tangerang, dan Kabupaten Lebak.

Sementara, realisasi investasi PMDN tertanam di lima kabupaten/ kota, yaitu Kota Serang, Tangerang Selatan, Tangerang, Cilegon, dan Kabupaten Serang. “Realisasi paling besar, baik PMDN maupun PMA, ada di Kota Cilegon,” kata Eneng Nurcahyati, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BKPMPT) Provinsi Banten.

Wajar, bila investasi di Banten terbilang tinggi. Selain letaknya yang strategis, provinsi ini memiliki lima Kawasan Prioritas Investasi (KPI) yakni KPI Lebak, KPI Cilegon, KPI Tangerang, dan KPI Serang. Dan, minat penanam modal di kelima kawasan ini tinggi.

Salah satunya adalah PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) yang tahun ini sedang mengajukan izin prinsip penanaman modal senilai Rp 236,34 miliar.

“Sekarang kami sedang mengembangkan lagi kawasan industri tahap ketiga. Tahap pertama seluas 200 hektare, tahap kedua 300 hektare, tahap ketiga tentu lebih besar lagi,” kata Ike Nikita, Manajer Humas KIEC. Investor yang melirik KIEC antara lain perusahaan pakan ternak, perusahaan kimia, dan perusahaan baja.

Selain KIEC, ada PT Bintang Proteina Feedmill yang juga mengajukan izin prinsip penanaman modal senilai Rp 280,5 miliar, sedangkan PT Torabika Eka Semesta mengajukan izin usaha perluasan dengan nilai proyek Rp 640,79 miliar.

Di luar KPI, ada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang seluas 1.500 ha. Banten mengklaim KEK Tanjung Lesung merupakan satu-satunya KEK bidang kepariwisataan di Indonesia.

Wilayah tersebut ditunjang dengan berbagai fasilitas insentif, baik pajak maupun nonpajak, yang diharapkan bisa menjadi daya tarik bagi para investor. Kelak, di sana bakal berdiri Bandara Panimbang dan jalan tol yang terhubung dengan tol Jakarta-Merak.

Selain KEK Tanjung Lesung dengan infrastruktur penunjangnya, Banten juga tengah sibuk menjajakan proyek investasi lain seperti Waduk Karian di Kabupaten Lebak, Pelabuhan Bojanegara, dan Tol Cilegon-Bojanegara.

Yang terbaru adalah Banten berencana mengembangkan wilayah Bojanegara sebagai KEK dengan dukungan Pelabuhan Bojanegara yang digadanggadang bakal menandingi Pelabuhan Singapura.

Kalau rencana ini terwujud, maka akan banyak sektor yang terlibat, baik hulu maupun hilir. Ambil contoh perdagangan, industri, pariwisata, perhubungan, tak terkecuali kelautan dan perikanan. KEK Bojanegara juga diyakini akan memberikan efek ke pertumbuhan ekonomi yang luar biasa bagi Banten.

Banten juga telah membagi wilayah investasi menjadi beberapa kluster dengan fokus yang berbeda-beda. Wilayah Kota Serang, Cilegon, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang difokuskan untuk pengembangan sektor jasa perdagangan, domestik, serta ekspor-impor. Wilayah ini juga akan dikembangkan sebagai kawasan industri jasa properti untuk usaha atau bisnis maupun pemukiman.

Adapun Kabupaten Tangerang, Serang, Kota Serang, dan Cilegon ditujukan untuk industri hulu sampai hilir, seperti logam dasar dan kimia. Sedang wilayah Banten Selatan yang meliputi Kabupaten Pandeglang dan Lebak difokuskan untuk pengembangan sektor primer, yakni perkebunan, pengolahan hasil sektor pertanian, perikanan darat dan laut, industri tambang, dan pariwisata.

PAD naik terus

Pembangunan di Banten yang gencar ditambah aliran investasi yang deras tentu menambah pundi-pundi penghasilan Pemerintah Banten. Pendapatan asli daerah (PAD) provinsi ini tergolong besar dibandingkan dengan total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya.

Jika tahun 2001 PAD Banten masih Rp 500 miliar, tahun 2013 sudah melonjak berkali-kali lipat menjadi Rp 4 triliun. Dengan capaian ini, “Banten sebenarnya daerah yang mandiri dan kaya karena 77% dari total APBD-nya sekitar Rp 6 triliun berasal dari pendapatan asli daerah,” tutur Dahnil.

Masalahnya, fakta sosial ekonomi di lapangan tak seindah catatan di atas kertas. Pengangguran dan kemiskinan di Banten masih tinggi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banten paling rendah di antara provinsi di Jawa.

Sebab, di Banten masih sering ditemukan kasus gizi buruk. Kemiskinan dan pengangguran juga banyak ditemukan di Banten Selatan, yakni di Kabupaten Pandeglang dan Lebak (lihat hal 6-7).

Fakta sosial yang suram di Banten muncul karena politik anggaran di provinsi ini penuh dengan perselingkuhan sehingga hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. “Untuk apa membangun bandara di Banten Selatan? Untuk apa mendirikan Bank Banten dengan dana dari APBD hingga Rp 1 triliun?” tanya Dahnil.

Hasil penelitian Dahnil menunjukkan, keluhan terbesar investor di Banten adalah infrastruktur yang masih buruk. Dari 700 kilometer jalan provinsi di Banten pada 2012, 62% di antaranya dalam kondisi rusak.

Lalu, perizinan masih berbiaya tinggi dan waktu lebih panjang. Contohnya, izin mendirikan usaha, izin limbah, izin kebisingan, dan izin pabrik baru. “Masalah perizinan menambah biaya sekitar 10% dan infrastruktur jalan rusak menambah biaya 15%, ini cukup besar,” ujar Dahnil.

Pemerintah Banten sangat sadar infrastrukturnya masih jauh dari harapan. Makanya, mereka berencana membangun bandara, pelabuhan, jalan raya, jalan tol, dan rel kereta api baru. Ya, dengan proyek-proyek itu, Banten sedang merias diri agar investor mau datang dan betah tinggal di provinsi ini. Tapi, jangan lupa kemudahan memulai bisnis juga penting, ya.

Pengembang besar mana yang tak memiliki lahan garapan di Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan (Tangsel)? Ya, paling tidak PT Alam Sutera Realty Tbk, PT Bumi Serpong Damai Tbk, Ciputra Group, dan Lippo Group punya lahan di dua wilayah ini.Malah pengembang tak ragu menggarap lahan mereka dalam bentuk kota mandiri atawa kawasan properti terintegrasi. Selain hunian, dibangun pula properti pendukung, seperti pusat perbelanjaan, sekolah, rumahsakit, dan area komersial. Beberapa kawasan mandiri, seperti Lippo Village, BSD City, dan Alam Sutera. Kalau sekadar kawasan terintegrasi, ada Bintaro Jaya, kawasan perumahan di Jakarta Selatan yang lantas menyebar hingga Tangsel.Ada dua alasan mengapa Tangerang dan Tangsel memikat hati pengembang. Pertama, Tangerang dan Tangsel adalah wilayah Banten yang terdekat dengan Jakarta. Kedua, “mandat” menjadikan kedua wilayah ini sebagai daerah penyangga Jakarta alias kota satelit.Saat ini, para pengembang lebih banyak melakukan pengembangan di landbank mereka yang belum tergarap. Makanya, “Belum ada rencana ke wilayah Banten lain dan lagipula Tangerang belum sesak,” ujar Head of Corporate Communication Lippo Karawaci Danang Kemayan Jati beralasan.Meski berada di pinggiran Jakarta, tak berarti target pasar mereka kelas bawah. Minimal kelas menengahlah yang bisa menghuni proyek-proyek ini. Danang menyebut harga hunian tapak Lippo Rp 6,5 juta–Rp 10 juta per m².Produk-produk Alam Sutera juga menuntut kocek tebal. Harga hunian Suvarna Sutera di Pasar Kemis, misalnya, Rp 450 juta–Rp 1,3 miliar untuk luas lahan di atas 100 m². “Ada juga proyek rumah seharga Rp 4,7 miliar untuk luas tanah 240 m² yang sedang kami bangun dan tinggal sisa enam unit,” ungkap Lilia Sukotjo, Direktur Pemasaran Alam Sutera. Wah!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan