Pembagian Pertanggungan dengan Bank Akan Masuk di Beleid Baru Asuransi Kredit



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permasalahan terkait klaim asuransi kredit yang membengkak memang menjadi perhatian saat ini. Dalam hal ini, kredit dari industri perbankan menjadi yang ikut berkontribusi.

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat total klaim asuransi kredit di periode kuartal I/2023 tercatat senilai Rp 2,94 triliun atau naik 53,1% YoY. Paling banyak berasal dari kredit usaha rakyat (KUR), kredit konsumsi, dan kredit modal kerja.

Alhasil, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengatur beleid baru terkait lini bisnis asuransi kredit ini. Salah satu poinnya adalah  pembagian ulang (resharing). Jadi nanti, risiko pertanggungan asuransi kredit tidak 100% ditransfer ke perusahaan asuransi, akan tetapi ada jumlah tertentu yang akan ditanggung oleh bank.


“Di bank ada jumlah tertentu sekitar 20% atau 30% untuk ditanggung oleh bank dan yang ditransfer sebagian,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono, belum lama ini.

Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebutkan, asuransi kredit merupakan bagian dari mitigasi risiko kredit. Dalam hal pelaksanaan harus di-assest secara baik dan prudent oleh bank.

Ia bilang pembagian risiko pertanggungan itu hakikatnya merupakan perjanjian perdata yang artinya bank dan asuransi harus melakukan analisis secara profesional dari semua aspek.

“Kalau tidak tercapai kesepakatan kan tidak harus dilakukan penandatanganan kontraknya. Orang yang kerja di bank dan asuransi harus orang yang capable,” ujar Dian, Senin (10/7).

Baca Juga: Kelangkaan Aktuaris Masih Jadi Kendala Asuransi Umum

Dalam pembuatan beleid tersebut, Dian menegaskan akan menekankan betul penerapan prudential regulation untuk bank, dan keharusan bank betul-betul memilih asuransi secara profesional dan melihat betul kesehatan asuransinya.

“Akan saya pastikan pengawas perbankan berkoordinasi dengan pengawas perusahaan asuransi untuk memastikan tata kelola proses asuransi kredit dapat berjalan secara profesional dan sesuai ketentuan yang berlaku,” ujarnya.

Presiden Direktur Maybank Indonesia Taswin Zakaria mengungkapkan, selama ini penggunaan asuransi kredit umumnya digunakan untuk kredit sifatnya program bantuan pemerintah seperti penyaluran KUR atau kredit mikro.

Di Maybank sendiri, penggunaan asuransi kredit digunakan untuk pembiayaan motor/mobil atau KTA/Kartu Kredit. Dalam hal ini, asuransi yang dipakai dalam bentuk asuransi jiwa kredit.

“Hanya dalam hal debitur meninggal dunia maka kredit diselesaikan oleh dana asuransi,” ujarnya.

Jika melihat laporan keuangan di kuartal pertama tahun ini, Maybank mencatat beban premi asuransi senilai Rp 17,99 miliar. Angka tersebut naik dari periode sama di tahun sebelumnya yang senilai Rp 15,9 miliar.

Terkait pembaagian risiko itu sendiri, Taswin berpendapat penyaluran kredit pada segmen tertentu memang ada bank yang mau menyerap 20-30% risiko kreditnya. Dalam hal bank tidak punya ‘risk appetite’ terhadap segmen tertentu tetapi karena mengikuti program tertentu maka bank akan minta asuransi mengcover 100% risiko atau bank tidak partisipasi dalam program tersebut.

“Semua kembali lagi ke banknya mau apa tidak ambil risiko kreditnya. Kalau banknya tidak mau maka bank akan minta asuransi 100%,” ujar Taswin.

Sementara itu, Direktur Risk Management BTN Setiyo Wibowo mengatakan, saat ini BTN telah membagi risiko kredit dalam hal ini untuk KPR subsidi dan kredit. BTN hanya menyerahkan 80% dari risiko ke perusahaan asuransi.

“Umumnya asuransi sudah tidak ada yang mau menanggung 100% risiko NPL, maksimal hanya 80%,” ujar Setiyo.

Hanya saja, ia menegaskan bahwa asuransi kredit ini konsepnya hanya sebagai salah satu solusi apabila kredit bermasalah. Utamanya, bank bagaimana melakukan memilih nasabah yang layak diberikan kredit dan agunan yang layak juga.

Ia juga bilang, tarif premi bukan menjadi yang utama dalam memilih produk asuransi kredit. Mengingat, saat ini tren perang tarif asuransi kredit juga menjadi salah satu masalah sehingga nantinya bakal diatur dalam beleid tersebut.

“Utamanya memilih asuransi yang dipilih harus sehat dan kuat, yang mampu membayar klaim,” ujar Setiyo.

Sementara itu, Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, dalam pelaksanaan asuransi atau penjaminan kredit, pihaknya sudah menerapkan skema risk sharing sesuai perjanjian kerjasama dengan tiap asuradur.

“Misalnya untuk KUR & KUM antara 70-80% ditanggung asuradur dan sisanya oleh bank,” ujarnya.

Dari sisi pengamat, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menjelaskan selama ini seharusnya memang ada pembagian risiko antara bank dan perusahaan asuransi. Pihak asuransi menanggung 70% dari risiko.

Hanya saja, ia bilang, ada persepsi bermunculan bahwa perusahaan asuransi ini menanggung risiko 100%. Misalnya, ada debitur memiliki pinjaman Rp 100 miliar dan telah melunasi sekitar Rp 30 miliar lalu macet, sehingga klaim pun diajukan ke perusahaan asuransi.

“Seolah-olah saat klaim diajukan, 100% ditanggung perusahaan asuransi, itu persepsi tidak benar, karena porsinya perusahaan asuransi memang 70% sesuai premi,” ujarnya.

Oleh karenanya, ia menilai yang harusnya direview oleh regulator dalam hal ini OJK adalah terkait besaran premi yang seharusnya memperhitungkan klaim nantinya dan tata kelola dari perusahaan asuransi itu sendiri.

Baca Juga: OJK Susun Roadmap Perbaikan Industri Asuransi, Begini Tanggapan Pelaku Usaha

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat