Pembahasan RUU Kepailitan dan PKPU alot



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target pemerintah menyelesaikan revisi Undang-Undang (UU) No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam waktu dekat sepertinya sulit tercapai. Sampai sejauh ini naskah akademik dari revisi UU ini masih digodok oleh para pemangku kepentingan.

Salah satu lembaga yang menggodok naskah akademik revisi UU No. 37/2004 adalah Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Wakil Sekretaris Jenderal AKPI  Baso Fakhruddin bilang, salah satu alasan revisi UU Kepailitan dan PKPU tak kunjung selesai adalah adanya sejumlah poin yang mengganjal.

Salah satu poin yang alot dibahas terkait siapa yang berhak mengajukan permohonan PKPU. "Satu poin yang paling drastis yang didorong AKPI adalah soal permohonan PKPU," ujar dia.


Aturan yang berlaku saat ini, permohonan bisa diajukan oleh debitur dan kreditur. "Kami menilai idealnya hanya debitur yang bisa mengajukan permohonan PKPU," katanya kepada KONTAN, Rabu (27/6).

Alasan AKPI, dalam proses restrukturisasi utang melalui PKPU, debitur adalah pihak yang paling mengerti atas kondisi keuangannya. Apalagi dalam banyak perkara PKPU yang diajukan oleh kreditur, banyak debitur yang tidak siap dalam menyusun proposal perdamaian.

Poin-poin itulah yang dianggap AKPI sebagai kesalahan serius dalam aturan terkait kepailitan dan PKPU di Tanah Air.

Poin-poin Baru Yang Diusulkan Masuk dalam Revisi UU Kepailitan dan PKPU

1. Kreditur separatis (pemegang jaminan) tidak diizinkan lagi untuk mengajukan pailit
2. Permohonan PKPU hanya bisa dilakukan oleh debitur, sehingga kreditur tidak mempunyai hak mengajukan PKPU
3. Perlu ada batasan nominal atau variabel dari PKPU sebagai syarat tambahan agar perkara PKPU tidak dijadikan ajang untuk menjatuhkan debitur
4. Perlu mekanisme yang jelas antara penyelesaian PKPU dan Pailit yang berkaitan dengan perkara pidana. Selama ini pengajuan PKPU dan permohonan pailit kerap tidak jelas penyelesaiannya karena masih menunggu penyelesaian kasus pidana yang terkait. (Sumber: Pemberitaan dan hasil wawancara KONTAN)
Kasus membengkak

Oleh karena itu, AKPI mengaku menjadi pihak yang paling getol mendorong revisi UU Kepailitan dan PKPU. Apalagi perkara PKPU dan pailit tiap tahun juga terus meningkat. Catatan KONTAN, tahun 2017, jumlah perkara mencapai 168 kasus dari tahun sebelumnya ha ya 144 kasus. 

"Marwah PKPU itu untuk restrukturisasi sementara, namun banyak pengajuan PKPU oleh kreditur yang tak bisa perdamaian, sehingga debitur pailit dan langsung insolvensi," jelasnya. Dengan perubahan itu, diharapkan upaya PKPU tidak dijadikan alat oleh kreditur untuk memailitkan debitur.

Selain poin siapa yang berhak mengajukan PKPU, beleid ini juga akan mengatur variabel permohonan PKPU dan pailit. Dalam UU 37/2004, baik syarat dikabulkannya permohonan PKPU maupun pailit tak berbeda, yakni minimum terdapat dua kreditur, dan adanya utang yang dapat ditagih atau jatuh tempo.

Dengan revisi, maka nantinya akan diatur syarat tambahan berupa variabel tertentu ketika PKPU dan pailit diajukan ke pengadilan. Salah satu variabel itu bisa berupa nominal utang yang akan ditagih. Syarat ini juga berlaku pada mekanisme restrukturisasi utang yang berlaku di Singapura dan Inggris.

Namun menurut pengacara sekaligus kurator Swandy Halim, kreditur pemegang jaminan seperti perbankan harus punya hak untuk mengajukan PKPU. "Peran kreditur untuk mengajukan PKPU ke pengadilan tidak tiba-tiba, melainkan melalui mekanisme penagihan sebelumnya," ujar dia memberi alasan.

Swandy bilang usulan perubahan terkait penghapusan hak kreditur mengajukan PKPU bisa menjadi bumerang bagi dunia usaha. Sebab dengan poin ini maka opsi yang tersisa hanyalah mengajukan pailit kepada debitur.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia