Pembahasan RUU Terorisme terkendala pasal definisi terorisme



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi'i mengaku pembahasan terkait RUU Terorisme hanya menunggu dari pemerintah dalam mendefinisikan terorisme itu sendiri.

"Sejatinya pembahasan sudah  mencapai 99,9% hanya tinggal membahas satu ayat di pasal 1 yang menjelaskan definisi dari terorisme," ungkapnya saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (14/5).

Sebab, ia mengaku hingga saat ini pemerintah belum sepakat dalam menentukan definisi dari terorisme. Padahal hal itu merupakan panduan bagi masyarakat dan penegak hukum dalam menentukan tindakan hukum bagi teroris.


Syafi'i menjelaskan, sebelumnya memang pemerintah baik Kapolri, Panglima TNI, dan Kementerian Pertahanan telah mengajukan saran untuk mendefinisikan arti terorisme. Bahkan, dirinya juga mengimbau kepada pemerintah untuk juga melihat definisi dari KBBI sebagai referensi.

"Sehingga dalam rapat sebelumnya kami kasih panduan atas masukan-masukan tersebut dan terdapat lima definisi," jelas dia. Pertama, adanya tindakan kejahatan. Kedua, adanya teror terhadap masyarakat secara masif. Ketiga, menimbulkan korban.

Keempat, merusak objek-objek vital yang strategis. Kelima, adanya motif dan tujuan politik. Tapi lanjut Syafi'i pemerintah tidak memasukkan poin kelima dalam definisi terorisme. Padahal, poin tersebut dinilainya merupakan makna dasar dari terorisme.

"Kalau poin itu dihilangkan lalu apa bedanya teroris dengan kriminal biasa?," tegasnya. Maka dari itu ia berharap dalam, rapat paripurna berukuran pemerintah sudah bisa menyatukan suara terkait hal ini. Bahkan ia menyampaikan, jika hal itu telah dilakukan pemerintah maka RUU Terorisme ini bisa langsung disahkan.

Sekadar tahu saja, RUU yang sedang dibahas ini merupakan revisi dari UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Yangmana, titik perubahan tersebut dititik beratkan kepada pencegahan tindak terorisme.

"Kalau UU yang dulu kan melulu bahas soal penindakan, kalau yang baru ada penindakan yang diawasi oleh pengawas DPR dan juga ada pemulihan bagi para korban. Jadi kalau ada korban bom Bali yang belum dibantu itu akan dibantu" jelas Syafi'i.

Pencegahan itu akan dilakukan dalam kesiapan siagaan nasional dan melibatkan 36 Kementerian dan Lembaga. Hal itu didasari, dari kejahatan terorisme dari aspek eksternal yang cenderung bertujuan untuk melemahkan bangsa kita. Kemudian juga aspek internal yang disebabkan kegagalan pemerintah dalam membagi keadilan dan kesejahteraan.

Sebelumnya, Menkopolhukam Wiranto mengatakan, Pemerintah dan DPR sudah sepakat tidak menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Ia bilang, sejumlah hal krusial yang sebelumnya masih diperdebatkan, termasuk soal definisi terorisme dan pelibatan TNI.

Wiranto mengatakan pemerintah dan DPR sudah menemui kesepakatan. "Ada dua yang krusial yang belum selesai, pertama definisi, sudah selesai. Kita anggap selesai ada kesepakatan. Kedua, pelibatan TNI bagaimana. Sudah selesai juga. Dengan demikian, maka tidak perlu ada lagi yang perlu kita perdebatkan," katanya.

Adapun sebelumnya Presiden Joko Widodo mengaskan kepada DPR RI dan Kementerian terkait untuk segera menyelesaikan RUU Terorisme. Pasalnya, RUU tersebut telah diajukan sejak dua tahun silam.

Bahkan, Presiden mengatakan jika akhir Juni 2018 nanti pembahasan RUU tersebut tidak selesai, maka tak segan-segan ia akan mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan. Sekadar tahu saja, hal tersebut merupakan bentuk respon dari kejadian ledakan bom bunuh yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur sejak kemarin, Minggu (13/5).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sofyan Hidayat