KONTAN.CO.ID - Peningkatan kesejahteraan buruh bangunan di Indonesia ternyata tidak sebanding dengan upaya pemerintah mendongkrak pembangunan infrastruktur. Walau menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), upah nominal buruh bangunan sejak awal 2015 hingga sekarang terus meningkat. Namun, upah riil buruh bangunan semakin menyusut. Upah riil menjadi hasil pembagian upah nominal terhadap inflasi di perkotaan. Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, tingkat kesejahteraan buruh bangunan bisa dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja infrastruktur yang turun 230.000 orang per Agustus 2016 atau 2,80% dibandingkan periode yang sama pada 2015. Penyebabnya, ada kesalahan dalam konsep pembangunan infrastruktur saat ini.
"Konsep pembangunan yang kurang pas. Proyek dikuasai kontraktor besar alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kemudian lebih ke padat modal daripada padat karya," terang Bhima kepada KONTAN, Sabtu (23/9). Oleh karena itu, tak heran bila
trickle down effect proyek infrastruktur diragukan bisa menetes ke bawah. Apalagi jika mengutip keterangan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), proyek infrastruktur pemerintah hanya dilakukan oleh kontraktor besar dengan penguasaan mencapai 87%. Sementara kontraktor lokal kecil hanya kebagian sebanyak 6% dari total proyek. Selain itu Bhima melihat, mayoritas proyek konstruksi pemerintah sejak awal pemerintahan Joko Widodo yaitu tahun 2015 kebanyakan adalah berupa proyek jalan tol. Proyek-proyek tersebut komposisi
skilled labor-nya berbeda dari proyek properti, seperti gedung. "Jumlah tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit. Teknologi konstruksi juga makin canggih. Buat jalan tol seperti
puzzle, tinggal pasang," kata Bhima. Agar efek ke pembangunan lebih terasa, Bhima berharap pemerintah mengukur kembali kemampuan anggaran maupun kesiapan teknis. Selain itu, ketimpangan antara kontraktor besar dan kecil harus segera diselesaikan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. "Pemerintah tarik utang. Kemudian masuk ke BUMN. Nanti BUMN bayar dividen ke pemerintah. Jadi lingkaran uang dan likuiditas hanya berputar di pemerintah. Swasta pusing," jelas Bhima.
Soal anggaran infrastruktur, Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi juga mengatakan, pengalokasian dana pada APBN yang terlalu berat di infrastruktur juga berisiko menimbulkan masalah pada pos-pos lain. "Apalagi jika pos-pos ini berkaitan dengan daya beli masyarakat, misalnya pos subsidi energi. Akan lebih bermasalah jika keinginan pemerintah untuk genjot pembangunan infrastruktur ini tidak didukung dari sisi penerimaan," ujarnya. Sementara itu Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan, ada jeda atau
time lag yang agak panjang untuk merasakan efek dari pembangunan infrastruktur yang sedang giat-giatnya dilakukan pemerintah pada saat ini. Dia menyebutkan jeda tersebut bisa mencapai tiga hingga lima tahun ke depan. Namun, menurutnya, ketika pembangunan infrastruktur sudah memberi hasil dalam beberapa tahun mendatang, belum tentu pula pertumbuhan ekonomi bisa lebih cepat melaju. "Ngebut juga mungkin tidak, karena pembangunan infrastruktur kita kan juga terbatas dananya. Idealnya, biaya membangun infrastruktur kan 5% terhadap PDB. Kita masih 3% sampai 3,5%," kata Tony. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati