KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat, tercatat telah membangun 2.432 kilometer (km) jalan tol baru. Pembangunan tol tersebut paling masif terjadi di wilayah Jawa dan Sumatra. Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut, total panjang tol baru yang dibangun era Jokowi di wilayah Jawa mencapai 1.857 kilometer. Kemudian, Jokowi juga rajin membangun konektivitas tol di luar Jawa, yang mana Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS) memiliki portofolio terpanjang mencapai 1.138 km, Kalimantan 145 km, Sulawesi 61 km, dan Bali 10 km
Dari data tersebut, Jokowi rata-rata membangun sepanjang 270 km tol baru per tahun. Adapun saat ini total ruas tol yang telah beroperasi mencapai 3.212 km. Selain jalan tol, Jokowi juga telah membangun 5.999 km jalan nasional baru. Tubagus Haryo Karbyanto, Sekretaris Jendral FAKTA Indonesia menilai, pembangunan jalan tol di era Jokowi memang menjadi salah satu program infrastruktur yang sangat masif. Dari perspektif kebijakan publik, pembangunan ini memberikan dampak positif dalam hal konektivitas dan mempercepat distribusi barang dan jasa antar daerah. "Namun, FAKTA Indonesia memandang bahwa ada beberapa aspek yang perlu dikritisi, terutama terkait keadilan sosial dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan," katanya kepada KONTAN, Selasa (1/10/2024).
Baca Juga: JSMR Divestasi Tol Transjawa, Begini Komposisi Pemegang Saham Terbaru PT JTT Tubagus menjabarkan beberapa aspek terkait pembangunan jalan tol selama pemerintahan Jokowi.
Pertama, keadilan sosial. Meskipun pembangunan infrastruktur ini dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, ada kekhawatiran mengenai distribusi manfaat yang tidak merata, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurut dia, pembangunan tol yang mengandalkan model bisnis dengan penarikan tarif tol justru bisa membebani masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi dan pelaku usaha kecil menengah yang memanfaatkan jalan tol sebagai jalur distribusi.
Kedua, partisipasi masyarakat. FAKTA Indonesia menyoroti minimnya partisipasi publik dalam proses perencanaan pembangunan tol. Masyarakat sering kali tidak dilibatkan secara menyeluruh dalam evaluasi dampak sosial dan ekonomi yang mungkin mereka rasakan. Tubagus menganggap hal ini penting, mengingat adanya pemindahan lahan dan ganti rugi yang sering kali menjadi isu krusial dalam pembangunan infrastruktur jalan tol.
Ketiga, dampak lingkungan dan sosial. Pembangunan jalan tol sering kali menimbulkan dampak lingkungan seperti penggundulan lahan, risiko banjir, serta polusi akibat peningkatan kendaraan bermotor. "Dari sisi sosial, relokasi masyarakat yang terdampak perlu diatur lebih baik agar hak-hak mereka tidak terabaikan," sebutnya.
Keempat, pengawasan tarif dan kenaikan. FAKTA Indonesia juga mengkritik kenaikan tarif tol yang dilakukan secara berkala tanpa evaluasi komprehensif terkait daya beli masyarakat dan inflasi. Tubagus bilang, kenaikan tarif tol ini jika tidak disertai peningkatan layanan yang signifikan, justru akan menjadi beban tambahan bagi pengguna jalan dan tidak mencerminkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik.
Baca Juga: Jasa Marga (JSMR) Catatkan Total Aset Rp 133 Triliun per Semester I-2024 Pada akhirnya, meskipun pembangunan jalan tol di era Jokowi dapat memberikan manfaat signifikan dalam meningkatkan konektivitas, FAKTA Indonesia menekankan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif, adil, serta berwawasan lingkungan dalam setiap kebijakan pembangunan infrastruktur. "Ini mencakup transparansi dalam pengambilan keputusan, evaluasi dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh, dan partisipasi publik yang lebih baik," tandas Tubagus. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat