Hingar bingar pemilu yang dilaksananakan pada tanggal 17 April 2019 seolah menenggelamkan perayaan nasional lain yang biasa kita rayakan setiap tanggal 21 April, yaitu Hari Kartini. Ditambah lagi tanggal tersebut jatuh di hari Minggu, maka lengkaplah Hari Kartini makin sedikit mendapat perhatian, padahal kesetaraan jender masih menjadi masalah sosial yang perlu diperjuangkan. Berasumsi bahwa hasil perhitungan real count KPU tidak akan jauh berbeda dengan quick count, maka kita menunggu presiden terpilih akan merealisasi janji meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Saya memfokuskan SDM perempuan karena sebetulnya kesetaraan jender pernah dinikmati saudara-saudara perempuan kita di masa lampau jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara. Merujuk pada disertasi Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV tampak jelas bahwa perempuan di era Jawa kuno telah mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki, baik di ranah domestik maupun publik, termasuk hukum dan politik. Titi menegaskan tidak selalu setara, tapi perempuan bisa menjadi pemimpin pemerintahan dimana jabatan tertinggi di desa pada abad ke VIII-IX misalnya, tidak berdasar pada keturunan seperti pada kerajaan, melainkan ditunjuk oleh masyarakat. (https://historia.id/kuno/articles/peran-perempuan-jawa-kuno-PdjE9). Perempuan juga bisa menjadi raja atau kepala pemerintahan. Beberapa catatan menunjukkan sejumlah perempuan telah menjadi kepala pemerintahan. Salah satunya putri Mpu Sindok yang bernama Isanatunggawijaya pernah memerintah di masa Mataram Kuno pada abad ke X. (https://historia.id/kuno/articles/perempuan-penguasa-masa-mataram-kuno-PyJzZ). Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa setelah agama Islam masuk ke perairan Nusantara sampai terjadinya perang Jawa (perang Diponegoro), perempuan tetap mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Titi menyebutkan adanya sejumlah sultanah atau raja perempuan yang bertahta di “serambi Mekah,” yaitu Aceh. Di tanah Minang yang sangat Islami bahkan menempatkan perempuan sebagai garis keturunan (matrilineal). Sejarawan Indonesia Peter Carey dalam bukunya Perempuan-perempuan perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menyebut sejumlah perempuan perkasa di Jawa dalam berbagai peran pentingnya, baik domestik (mis. Ratu Ageng mendapatkan tugas pengasuhan P. Diponegoro) maupun politik. (mis. R.A, Ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang). Perempuan di masa itu juga sudah terlibat dalam militer, dimana pada awal berdirinya praja Mangkunegaran, ada Korps Prajurit Estri Mangkunegara yang sangat terlatih dan membuat decak kagum pejabat VOC, dipaparkan oleh Iwan Santosa dalam bukunya Legiun Mangkunegaran (1808-1942).
Pembangunan SDM: Kembalikan Kesetaraan Jender
Hingar bingar pemilu yang dilaksananakan pada tanggal 17 April 2019 seolah menenggelamkan perayaan nasional lain yang biasa kita rayakan setiap tanggal 21 April, yaitu Hari Kartini. Ditambah lagi tanggal tersebut jatuh di hari Minggu, maka lengkaplah Hari Kartini makin sedikit mendapat perhatian, padahal kesetaraan jender masih menjadi masalah sosial yang perlu diperjuangkan. Berasumsi bahwa hasil perhitungan real count KPU tidak akan jauh berbeda dengan quick count, maka kita menunggu presiden terpilih akan merealisasi janji meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Saya memfokuskan SDM perempuan karena sebetulnya kesetaraan jender pernah dinikmati saudara-saudara perempuan kita di masa lampau jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara. Merujuk pada disertasi Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV tampak jelas bahwa perempuan di era Jawa kuno telah mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki, baik di ranah domestik maupun publik, termasuk hukum dan politik. Titi menegaskan tidak selalu setara, tapi perempuan bisa menjadi pemimpin pemerintahan dimana jabatan tertinggi di desa pada abad ke VIII-IX misalnya, tidak berdasar pada keturunan seperti pada kerajaan, melainkan ditunjuk oleh masyarakat. (https://historia.id/kuno/articles/peran-perempuan-jawa-kuno-PdjE9). Perempuan juga bisa menjadi raja atau kepala pemerintahan. Beberapa catatan menunjukkan sejumlah perempuan telah menjadi kepala pemerintahan. Salah satunya putri Mpu Sindok yang bernama Isanatunggawijaya pernah memerintah di masa Mataram Kuno pada abad ke X. (https://historia.id/kuno/articles/perempuan-penguasa-masa-mataram-kuno-PyJzZ). Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa setelah agama Islam masuk ke perairan Nusantara sampai terjadinya perang Jawa (perang Diponegoro), perempuan tetap mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Titi menyebutkan adanya sejumlah sultanah atau raja perempuan yang bertahta di “serambi Mekah,” yaitu Aceh. Di tanah Minang yang sangat Islami bahkan menempatkan perempuan sebagai garis keturunan (matrilineal). Sejarawan Indonesia Peter Carey dalam bukunya Perempuan-perempuan perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menyebut sejumlah perempuan perkasa di Jawa dalam berbagai peran pentingnya, baik domestik (mis. Ratu Ageng mendapatkan tugas pengasuhan P. Diponegoro) maupun politik. (mis. R.A, Ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang). Perempuan di masa itu juga sudah terlibat dalam militer, dimana pada awal berdirinya praja Mangkunegaran, ada Korps Prajurit Estri Mangkunegara yang sangat terlatih dan membuat decak kagum pejabat VOC, dipaparkan oleh Iwan Santosa dalam bukunya Legiun Mangkunegaran (1808-1942).