Pembangunan Sima Office Tower masih menyisakan perkara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembangunan gedung Sima Office Tower masih meninggalkan perkara. Joint operation antara Shimizu Corporation dan PT Hutama Karya (Persero) (SC-HK JO) mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Kasasi diajukan atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam sengketa dengan PT Grage Trimitra Usaha (GTU) atas tunggakan pembayaran jasa pembangunan gedung Sima Office Tower senilai lebih dari Rp 141 miliar.

Kuasa Hukum SC-HK JO Ahmad Irfan Arifin menilai putusan pengadilan tersebut tidak masuk akal dan menimbulkan kerugian negara karena telah mengganggu bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta merusak iklim usaha.


“Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak masuk akal. Bukan hanya bertentangan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, melainkan juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Irfan dalam keterangan tertulisnya.

Dalam kasus ini SC-HK JO ditunjuk oleh PT GTU sebagai kontraktor pembangunan Sima Office Tower dengan masa kerja proyek dari Juli 2013 sampai April 2016. GTU tidak melakukan pembayaran jasa konstruksi, sementara 21 Desember 2015, SC-HK JO diputus kontrak.

Akhirnya sengketa dibawa ke arbitrase BANI. BANI dalam perkara arbitrase pada 24 Mei 2018 menjatuhkan putusan bahwa PT GTU telah melakukan wanprestasi sehingga pengakhiran kontrak oleh SC-HK JO adalah sah.

PT GTU dihukum membayar ganti rugi dengan nilai Rp 117 miliar dan US$ 1,7 juta. Namun, PT GTU kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase BANI tersebut ke PN Jakarta Selatan yang pada 25 September 2018 memutuskan membatalkan putusan arbitrase untuk seluruhnya.

GTU mempermasalahkan tiga dokumen yang disembunyikan dalam persidangan arbitrase yang diajukan SC-HK JO yaitu klaim terkait biaya perlindungan tambahan terhadap perlengkapan mechanical, electrical, dan plumbing, klaim ganti rugi akibat fluktuasi nilai tukar, dan klaim ganti rugi akibat kenaikan upah minimum DKI Jakarta sejak 2011 hingga 2014.

Ahmad Irfan selaku kuasa hukum mengklaim bahwa dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, saksi dari PT GTU mengakui bahwa mereka memiliki salinan dokumen-dokumen itu. Untuk itu Ia beranggapan tidak ada dokumen yang disembunyikan atau dipalsukan yang bisa menjadi dasar pembatalan putusan BANi tersebut.

“Itu artinya Majelis Hakim PN Jakarta Selatan membatalkan arbitrase dengan memakai alasan di luar Pasal 70 UU Arbitrase. Ini melanggar peraturan perundangan yang berlaku,” katanya.

Sementara Hana, Kuasa hukum PT GTU belum mau memberikan penjelasan saat dihubungi Kontan.co.id Jumat (16/11). Ia menyarankan untuk kembali menghubungi pada hari Senin depan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi