KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara Cirebon-1 resmi dibatalkan usai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pernyataannya Jumat (05/12/2025) menyebut Cirebon-1 sebagai salah satu PLTU super critical yang masih menjadi tulang punggung sumber pembangkit di Jawa. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 awalnya dimulai pada 2021, saat Indonesia menjadi bagian dari Energy Transition Mechanism (ETM) yang diluncurkan Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani di Conference of The Parties (COP26) di Glasgow. Rencana tersebut dilanjutkan saat Indonesia menjadi Presiden G20 dan menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) pada tahun yang sama. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 telah melalui proses kajian kelayakan teknis dan ekonomis, dan sejumlah kesepakatan antara PLN dan PT Cirebon Electric Power. ADB juga telah menyiapkan dukungan pembiayaan untuk pensiun dini ini, tetapi masih dinilai belum memadai oleh pemerintah Indonesia. Hingga tahun 2025, meski Indonesia telah menerbitkan Permen ESDM No. 10/2025 yang seharusnya mengatur peta jalan pengakhiran operasi PLTU untuk mencapai target net-zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat, pelaksanaannya belum menunjukkan progres konkret. Baca Juga: 47 PLTU Telah Mengadopsi Co-Firing, Mampu Menyerap 1,8 Juta Ton Biomassa Walaupun Menteri ESDM yang saat ini menjabat Bahlil Lahadalia menyampaikan komitmen terus mendukung pensiun PLTU Cirebon-1 (660 MW), namun hingga kini belum ada tindak lanjut komitmen tersebut. Di sisi lain, muncul wacana PLN akan membatalkan pensiun dini PLTU Cirebon-1 karena biaya penalti yang harus dibayarkan selama lima tahun dinilai terlalu besar, mencapai sekitar Rp 60 triliun. Sekarang, bukan sekedar wacana, pensiun dini PLTU Cirebon-1 sudah resmi dibatalkan. Sebagai gantinya, Menko Airlangga menyebut akan mencari PLTU lain yang sudah jauh lebih tua. "Sehingga nanti dicarikan alternatif lain yang usianya lebih tua, dan lebih terhadap lingkungannya memang sudah perlu di-retire," kata Airlangga. Terkait hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang keputusan PLN dilandasi oleh ketidakpastian akibat persetujuan tidak kunjung diberikan oleh pemerintah. Selain itu, pembatalan rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan memperlambat transisi energi menuju dekarbonisasi di sektor kelistrikan. Hal ini bertentangan dengan tujuan Presiden Prabowo yang ingin meninggalkan energi fosil sepuluh tahun dari sekarang, sebagaimana disampaikan pada pidato kenegaraan di DPR pada 15 Agustus 2025 lalu. Baca Juga: IESR: Revisi Perpres 112 Berpotensi Menambah PLTU Batubara Baru di Indonesia Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menilai keengganan pemerintah dan PLN untuk mewujudkan pensiun dini PLTU batu bara menunjukkan kemunduran komitmen transisi energi. Adanya kekhawatiran terhadap biaya pensiun dini yang dianggap tinggi hanya melihat dari biaya kompensasi kontrak belaka dan tidak mempertimbangkan manfaat ekonomi yang lebih besar dari penurunan biaya polusi dan kesehatan publik. "Selain itu, biaya yang tinggi tersebut muncul karena kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri, yang hingga kini enggan dikoreksi," kata Fabby dikutip Rabu (10/12/2025). Kajian yang dilakukan IESR menunjukkan bahwa pensiun dini PLTU sebelum 2050 justru memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang dibandingkan membiarkan PLTU beroperasi hingga usia pensiun alami. “Secara umum, biaya pensiun dini PLTU menjadi mahal karena struktur Power Purchase Agreement (PPA) PLTU, di mana terdapat klausul take-o-r pay (TOP) yang membuat PLN harus membayar listrik pada tingkat kapasitas yang tinggi dan kontrak PPA selama 30 tahun, tiga kali dari waktu normal pengembalian investasi (payback period)," jelas dia. Selain itu kebijakan domestic market obligation atau DMO untuk batubara, membuat risiko harga bahan bakar ditanggung oleh PLN dan negara sehingga seolah-olah biaya pembangkitan listrik PLTU murah. "Kebijakan ini juga membuat pembangkit energi terbarukan tidak dapat berkompetisi secara adil,” kata Fabby . Fabby juga menambahkan bahwa listrik dari PLTU sejatinya tidak murah karena ada eksternalitas yang tidak pernah dihitung, yaitu dampak kesehatan dan biaya akibat polusi udara yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah dalam bentuk kenaikan beban BPJS. Selain itu kajian IESR menemukan bahwa manfaat pensiun dini PLTU ditinjau dari penghematan subsidi, penurunan risiko dan biaya kesehatan, justru 2 hingga 4 kali lebih besar dibandingkan biaya pensiun dini itu sendiri. Studi IESR pada tahun 2022, memperkirakan biaya pensiun dini PLTU di sistem PLN yang sesuai dengan target Persetujuan Paris, yaitu 9,2 GW di 2030, memerlukan biaya mencapai USD 4,6 miliar (Rp 73,6 triliun). Nilainya akan meningkat menjadi US$ 27,5 miliar (Rp440 triliun) untuk mempensiunkan PLTU sisanya hingga 2045.
Pembatalan Pensiun Dini PLTU Cirebon-1: Pemerintah Cari Alternatif
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara Cirebon-1 resmi dibatalkan usai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pernyataannya Jumat (05/12/2025) menyebut Cirebon-1 sebagai salah satu PLTU super critical yang masih menjadi tulang punggung sumber pembangkit di Jawa. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 awalnya dimulai pada 2021, saat Indonesia menjadi bagian dari Energy Transition Mechanism (ETM) yang diluncurkan Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani di Conference of The Parties (COP26) di Glasgow. Rencana tersebut dilanjutkan saat Indonesia menjadi Presiden G20 dan menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) pada tahun yang sama. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 telah melalui proses kajian kelayakan teknis dan ekonomis, dan sejumlah kesepakatan antara PLN dan PT Cirebon Electric Power. ADB juga telah menyiapkan dukungan pembiayaan untuk pensiun dini ini, tetapi masih dinilai belum memadai oleh pemerintah Indonesia. Hingga tahun 2025, meski Indonesia telah menerbitkan Permen ESDM No. 10/2025 yang seharusnya mengatur peta jalan pengakhiran operasi PLTU untuk mencapai target net-zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat, pelaksanaannya belum menunjukkan progres konkret. Baca Juga: 47 PLTU Telah Mengadopsi Co-Firing, Mampu Menyerap 1,8 Juta Ton Biomassa Walaupun Menteri ESDM yang saat ini menjabat Bahlil Lahadalia menyampaikan komitmen terus mendukung pensiun PLTU Cirebon-1 (660 MW), namun hingga kini belum ada tindak lanjut komitmen tersebut. Di sisi lain, muncul wacana PLN akan membatalkan pensiun dini PLTU Cirebon-1 karena biaya penalti yang harus dibayarkan selama lima tahun dinilai terlalu besar, mencapai sekitar Rp 60 triliun. Sekarang, bukan sekedar wacana, pensiun dini PLTU Cirebon-1 sudah resmi dibatalkan. Sebagai gantinya, Menko Airlangga menyebut akan mencari PLTU lain yang sudah jauh lebih tua. "Sehingga nanti dicarikan alternatif lain yang usianya lebih tua, dan lebih terhadap lingkungannya memang sudah perlu di-retire," kata Airlangga. Terkait hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang keputusan PLN dilandasi oleh ketidakpastian akibat persetujuan tidak kunjung diberikan oleh pemerintah. Selain itu, pembatalan rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan memperlambat transisi energi menuju dekarbonisasi di sektor kelistrikan. Hal ini bertentangan dengan tujuan Presiden Prabowo yang ingin meninggalkan energi fosil sepuluh tahun dari sekarang, sebagaimana disampaikan pada pidato kenegaraan di DPR pada 15 Agustus 2025 lalu. Baca Juga: IESR: Revisi Perpres 112 Berpotensi Menambah PLTU Batubara Baru di Indonesia Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menilai keengganan pemerintah dan PLN untuk mewujudkan pensiun dini PLTU batu bara menunjukkan kemunduran komitmen transisi energi. Adanya kekhawatiran terhadap biaya pensiun dini yang dianggap tinggi hanya melihat dari biaya kompensasi kontrak belaka dan tidak mempertimbangkan manfaat ekonomi yang lebih besar dari penurunan biaya polusi dan kesehatan publik. "Selain itu, biaya yang tinggi tersebut muncul karena kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri, yang hingga kini enggan dikoreksi," kata Fabby dikutip Rabu (10/12/2025). Kajian yang dilakukan IESR menunjukkan bahwa pensiun dini PLTU sebelum 2050 justru memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang dibandingkan membiarkan PLTU beroperasi hingga usia pensiun alami. “Secara umum, biaya pensiun dini PLTU menjadi mahal karena struktur Power Purchase Agreement (PPA) PLTU, di mana terdapat klausul take-o-r pay (TOP) yang membuat PLN harus membayar listrik pada tingkat kapasitas yang tinggi dan kontrak PPA selama 30 tahun, tiga kali dari waktu normal pengembalian investasi (payback period)," jelas dia. Selain itu kebijakan domestic market obligation atau DMO untuk batubara, membuat risiko harga bahan bakar ditanggung oleh PLN dan negara sehingga seolah-olah biaya pembangkitan listrik PLTU murah. "Kebijakan ini juga membuat pembangkit energi terbarukan tidak dapat berkompetisi secara adil,” kata Fabby . Fabby juga menambahkan bahwa listrik dari PLTU sejatinya tidak murah karena ada eksternalitas yang tidak pernah dihitung, yaitu dampak kesehatan dan biaya akibat polusi udara yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah dalam bentuk kenaikan beban BPJS. Selain itu kajian IESR menemukan bahwa manfaat pensiun dini PLTU ditinjau dari penghematan subsidi, penurunan risiko dan biaya kesehatan, justru 2 hingga 4 kali lebih besar dibandingkan biaya pensiun dini itu sendiri. Studi IESR pada tahun 2022, memperkirakan biaya pensiun dini PLTU di sistem PLN yang sesuai dengan target Persetujuan Paris, yaitu 9,2 GW di 2030, memerlukan biaya mencapai USD 4,6 miliar (Rp 73,6 triliun). Nilainya akan meningkat menjadi US$ 27,5 miliar (Rp440 triliun) untuk mempensiunkan PLTU sisanya hingga 2045.
TAG: