Pembatasan asing di bank masih alot



JAKARTA. Pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Perbankan terus bergulir. Rencana pembatasan kepemilikan saham asing di industri perbankan nasional menjadi perdebatan alot. Fokus perdebatan soal perlu tidaknya pencantuman pembatasan maksimal saham asing di RUU Perbankan.

Ecky Awal Mucharam, Anggota Komisi XI DPR sekaligus Sekretaris Panja Revisi RUU Perbankan menyatakan, suara DPR terbelah dua perihal pencantuman batasan maksimal saham asing di perbankan. Saat ini, sebagian besar anggota Komisi XI tetap ingin pembatasan maksimal saham asing di bank tetap tertera di RUU Perbankan.

Salah satu pertimbangan DPR adalah risiko divestasi pada bank yang sudah terlanjur dikuasai asing. "Cuma berapa persentase batasan maksimal kepemilikan asing ini yang belum ketemu," kata Ecky kepada KONTAN di Gedung Parlemen, Kamis (11/6).


Meski draf RUU Perbankan belum tersusun, Foreign Bank Association of Indonesia atau Perhimpunan Bank-bank Internasional di Indonesia (Perbina)  dengan tegas menolak rencana pembatasan kepemilikan saham asing. Haryanto T Budiman, Pengurus Perbina, menilai, pembatasan saham asing bakal menghentikan kucuran dana asing.

Imbasnya, ekspansi kredit bank lokal yang dimiliki asing bakal seret. "Padahal penetrasi perbankan Indonesia masih rendah. Kredit perbankan hanya sekitar 30% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia," ujar Haryanto.

Pria yang juga menjabat sebagai Managing Director & Senior Country Officer JP Morgan Chase Bank Indonesia ini menambahkan, pembatasan saham asing juga berpotensi memicu gejolak di bursa saham. Sebab, mayoritas saham bank yang dikuasai asing lebih dari 40% adalah bank yang berstatus perusahaan terbuka. "Kami mengusulkan, kalaupun dilakukan pembatasan jangan di UU Perbankan, tapi cukup di Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang disesuaikan dengan kebutuhan," jelas Haryanto.

Status bank asing

Perbina juga menolak rencana DPR mewajibkan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA)  berubah status hukum menjadi perusahaan lokal atawa perseroan terbatas (PT).   Alasan Perbina, 80% dari aset KCBA saat ini sudah wajib ditempatkan di aset lokal yang likuid seperti surat utang negara (SUN).

Menurut Haryanto, kekhawatiran regulator perihal kantor pusat bank asing melakukan penarikan aset, sulit terjadi. Alasan lain Perbina, aset KCBA di Indonesia relatif sangat kecil dibandingkan dengan dengan aset induk bank asing sehingga bukan menjadi prioritas penarikan aset andai terjadi krisis.  "Jika dipaksakan menjadi PT, KCBA justru kehilangan sumber pendanaan murah. Akibatnya suku bunga kredit KCBA justru meningkat," ujar Haryanto.

Pengamat perbankan, Aviliani menyatakan, status PT wajib diberlakukan bagi KCBA karena saat ini KCBA hanya tunduk terhadap ketentuan negara asal induk bank.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah meminta induk usaha 10 KCBA menyuntikkan dana segar pada April 2015. Tujuannya, sebagian proses pengalihan diri menjadi berstatus badan hukum lokal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan