Pembatasan ekspor rumput laut ditunda



JAKARTA. Kabar baik bagi petani dan eksportir rumput laut di dalam negeri. Pemerintah menunda rencana kebijakan pembatasan ekspor rumput laut kering yang menurut rencana semula akan berlaku pada 2012.

Pemerintah akan menunda rencana kebijakan tersebut hingga 2013-2014 mendatang dengan alasan industri dalam negeri belum siap menyerap hasil produksi petani rumput laut di dalam negeri. Pemerintah khawatir, apabila pembatasan ekspor segera diberlakukan justru akan merugikan petani rumput laut.

Victor Nikijuluw, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, pembatasan ekspor rumput laut bertujuan mendorong industri lokal. Selama ini sebagian besar hasil budidaya rumput laut dikirim ke luar negeri. Pemerintah ingin menekan penjualan rumput laut kering dan meningkatkan ekspor olahan rumput laut agar memperbesar nilai tambah.


Namun, kini pemerintah siap menunda kebijakan itu. "Kami melihat industri dalam negeri belum siap, jadi pembatasan diundur hingga tahun 2013 atau bahkan 2014," jelas Victor, Rabu (7/9).

KKP mencatat, pasar lokal hanya menyerap 15% - 20% produksi rumput laut nasional, sedangkan sisanya untuk ekspor. Kementerian Perdagangan mencatat nilai ekspor rumput laut pada 2010 mencapai US$ 135,939 juta. Pada periode Januari hingga Juni 2011, ekspor rumput laut telah mencapai US$ 83,283 juta, naik 41% dari nilai ekspor pada periode sama tahun lalu sebesar US$ 59,02 juta.

Nah, dalam rencana pembatasan nanti, pemerintah ingin mematok ekspor rumput laut mentah hanya 50% dari produksi. Adapun sisanya untuk pasar lokal sehingga memicu industri hilir rumput laut.

Penundaan lebih lama

Syamsu Alam, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), menyambut baik kabar tersebut. Dia mengingatkan, selama ini wacana pembatasan telah merugikan perdagangan rumput laut Indonesia. "Kabar itu membuat anggota kehilangan pasar karena pembeli mengurangi ketergantungan pada rumput laut Indonesia," jelas Syamsu, secara terpisah.

Syamsu menjelaskan, kabar pembatasan itu menjadikan industri rumput laut di luar negeri mengalihkan pembelian ke negara lain. Umumnya, pembeli mengalihkan ke Madagaskar yang juga merupakan produsen rumput laut terbesar di dunia. "Salah satu eksportir kami mengaku permintaan berkurang 10 ton per bulan," kata Syamsu.

Syamsu mengatakan, seharusnya penundaan pembatasan ekspor berlangsung lebih lama. Sebab, pengembangan industri hilir rumput laut membutuhkan waktu sekitar delapan hingga 10 tahun. "Industri ini membutuhkan studi pasar di dalam negeri dan penanganan limbah," terang Syamsu.

Disisi lain, pemerintah baru mulai mengembangkan industri hilir rumput laut pada tahun ini. Saat ini pemerintah sudah mempersiapkan industri pengolahan rumput laut di Mojokerto dan Semarang.

Selain itu Syamsu berharap, pemerintah juga bersedia memikirkan peningkatan kualitas produk rumput laut dalam negeri. ARLI mencatat, kualitas rumput laut Indonesia kalah dibanding rumput laut produksi Filipina.

Walhasil, banderol rumput laut Indonesia lebih rendah sekitar US$ 100 - US$ 150 per ton dari produk sejenis di Filipina. "Petani butuh bimbingan pola tanam dan cara pengeringan rumput laut agar menghasilkan kualitas yang lebih baik," tandas Syamsu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini