Maksudnya Baik, Jadi Kontraproduktif
Kebiasaan membikin aturan tanpa perhitungan, persiapan, dan koordinasi yang matang kembali berulang. Seolah tanpa bosan, kebiasaan buruk ini membuat aturan pemerintah yang sebetulnya bermaksud baik, malah seperti tak bermuruah. Tengok saja Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau. Beleid ini diteken Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita pada 2 November 2017. Mestinya, berdasar pasal terakhir di Permendag tersebut, regulasi ini mulai berlaku 8 Januari 2018. Namun, hingga tulisan ini naik cetak, tidak jelas bagaimana aturan tersebut akan dilaksanakan. Sampai detik ini, masih dibicarakan bagaimana teknis pelaksanaan aturan ini. Apakah dibentuk satuan khusus atau di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan Kementerian Pertanian.
Mekanisme dan aturan main yang jelas diperlukan lantaran aturan ini hanya akan berjalan maksimal jika dibarengi pengawasan yang baik. Ambil contoh soal pemberian rekomendasi dari Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai syarat mendapatkan persetujuan impor. Pabrik rokok yang ingin mengimpor tembakau, harus melampirkan fotokopi bukti telah menyerap tembakau lokal. Cuma, tidak jelas bagaimana caranya Kementan akan mengawasi dan memvalidasi penyerapan tembakau lokal oleh pabrikan. Hal menarik lainnya, kewajiban menyerap tembakau lokal hanya dibebankan kepada perusahaan pemilik API-P (Angka Pengenal Importir-Produsen). Sementara untuk importir umum (perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir-Umum) tidak dicantumkan kewajiban yang serupa. Importir umum hanya diwajibkan untuk melampirkan rencana distribusi tembakau yang akan diimpor. Rencana distribusi ini berdasarkan kontrak pemesanan kebutuhan Tembakau dari industri kecil dan menengah atau industri yang tidak melaksanakan importasi tembakau sendiri. Dus, lagi-lagi tanpa pengawasan yang bagus, siapa yang bisa menjamin tembakau impor dari importir umum tidak merembes ke pabrikan besar yang sebetulnya punya kewajiban menyerap tembakau lokal. Alih-alih menolong petani lokal, aturan ini malah berpotensi membuat tembakau impor makin meluber tak terkendali. Belakangan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyebut, minimal harus ada komitmen dari importir. Bahwa, mereka akan menyerap tembakau lokal sebelum mendapatkan ijin mengimpor tembakau. Komitmen tersebut berlaku untuk satu tahun dalam besaran tertentu. Sehingga importir juga bisa mulai mengimpor dalam besaran tertentu. “Kalau butuhnya (tembakau impor) 5 kilogram dan harus membeli (tembakau lokal) 5 kilogram. Tapi lokalnya hanya ada 3 kilogram, masak dia harus nurunin belinya,” kata Oke. Nah, seperti apa formula volume tembakau lokal yang harus diserap untuk bisa mengimpor dalam volume tertentu, belum juga ada keputusannya. “Masih belum final, gambarannya antara 80%–100%. Masih didiskusikan dan masih belum menemukan kata sepakat,” kata seorang pejabat di Kementerian Pertanian. Bikin bingung Tak urung, soal kewajiban menyerap tembakau lokal, ini membingungkan asosiasi petani tembakau. Dalam beberapa kesempatan, Mendag Enggartiasto Lukita menyebut tembakau lokal harus terserap dulu 100%. Baru kemudian pabrikan boleh mengimpor tembakau. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengaku tidak paham dengan maksud pemerintah. Ia mengakui, memang tidak semua tembakau lokal berkualitas baik. Namun, seluruh produksi tembakau nasional masih bisa diserap oleh industri pengguna. Dus, pembatasan impor sebetulnya bukan hal yang terpenting bagi petani tembakau. “Sekitar 40% hingga 50% tembakau diserap oleh industri pengolahan tembakau skala besar. Sisanya diserap oleh industri pengolahan tembakau skala kecil,” kata Soeseno. Soal koordinasi antar kementerian juga masih menjadi penghambat sehingga implementasi aturan ini terkesan minim persiapan. Contoh paling kentara adalah soal jenis tembakau yang impornya dibatasi. Kementerian Pertanian yang sebetulnya paling paham soal ini, malah mengaku sedang mengomunikasikannya dengan Kementerian Perdagangan. Merujuk pada lampiran Permendag 84/2017, ada tiga jenis tembakau yang terkena aturan ini. Yakni tembakau jenis virginia, burley, dan oriental. Produksi tembakau virginia dan burley di Indonesia sangat sedikit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan nasional. Produksi tembakau virginia misalnya, hanya sekitar 38.371 ton per tahun. Sementara kebutuhannya mencapai 80.000 ton per tahun. Bahkan, untuk tembakau oriental samasekali tidak diproduksi di Indonesia. Padahal kata Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie, jenis-jenis tembakau yang terkena pembatasan impor itu sangat diperlukan sebagai bahan baku campuran dalam produksi rokok. “Intinya impor masih tetap diperlukan dan aturan ini harus dikaji ulang,” pintanya. Bea masuk Model pengendalian impor tembakau yang lain adalah pengenaan bea masuk. Cuma, soal bea masuk ini masih dalam pembahasan pemerintah dan tidak ada dalam Permendag 84/2017. Berapa besaran tarifnya juga belum diputuskan. Skema penerapan bea masuk ini rupanya didukung oleh pabrikan rokok. Muhaimin menyebut, ketimbang membatasi impor, lebih baik jika pemerintah menerapkan kebijakan bea masuk. Ini bisa diterapkan untuk varietas tembakau yang tidak dapat dibudidayakan di Indonesia. Bea impor juga bisa diterapkan untuk varietas yang sudah diproduksi di Indonesia namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri. “Bea masuk bisa menjadi solusi. Besaran angkanya haruslah wajar. Dengan adanya kebijakan ini, industri masih tetap memiliki akses terhadap bahan baku,” kata Muhaimin. Sayangnya, cara ini juga tidak akan ampuh mengerem impor tembakau secara signifikan. Sebab, memang tidak semua tembakau impor bisa dikenakan bea masuk. Pasalnya, Indonesia sudah meneken perjanjian perdagangan bebas. Misalnya Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN–China (ASEAN–China Free Trade Area/ACFTA). “Kalau bea masuk dinaikkan sementara impor dari negara-negara yang sudah punya FTA kan, percuma. Karena bea masuknya sudah nol,” kata Oke. Persoalannya, justru tembakau impor yang paling banyak masuk ke Indonesia, datang dari negara yang sudah mengikat perjanjian bebas dengan Indonesia. Sejauh ini China adalah yang paling banyak masuk ke Indonesia. Pada tahun 2015, Indonesia mengimpor tembakau dari China sebanyak lebih dari 38.662 ton. Ini setara dengan sekitar 51,3% dari total volume impor pada tahun tersebut. Dihitung dari sisi nilai, impor tembakau dari China yang mencapai US$ 187,26 juta setara dengan 45,4% total nilai impor tembakau Indonesia. Bahkan, impor tembakau dari Negeri Tirai Bambu itu jauh lebih besar dari total nilai ekspor Indonesia pada tahun 2015 yang hanya US$ 156,78 juta. Bergantung pada impor Sejak bertahun-tahun panjang Indonesia memang bergantung dengan tembakau impor. Makin kesini, ketergantungannya juga semakin besar. Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menunjukkan, surplus volume ekspor impor tembakau terakhir kali terjadi pada tahun 2005. Sejak saat itu hingga detik ini, impor tembakau Indonesia jauh lebih besar dari ekspor. (lihat infografis: Perkembangan Volume Ekspor-Impor Tembakau 2006-2016) Dari sisi neraca nilai ekspor impor, catatannya jauh lebih buruk lagi. Terakhir kali surplus terjadi pada tahun 1998, yakni sebesar US$ 39,09 juta. (lihat infografis: Perkembangan Nilai Ekspor-Impor Tembakau 2006-2016) Kondisi ini terjadi lantaran luas lahan dan produksi tembakau nasional bisa dibilang jalan di tempat. Sementara produksi rokok, pengguna utama tembakau sebagai bahan baku, terus bertumbuh. Kecuali dalam beberapa tahun terakhir sejak pemerintah gencar menggenjot penerimaan dari cukai rokok. Pemerintah juga dinilai tidak banyak membantu pertanian tembakau di tanah air. Ibarat benci tapi rindu, tembakau diasosiasikan negatif lantaran menjadi bahan utama rokok. Namun, setoran cukai hasil tembakau menambal kantong pendapatan negara agar bolongnya tidak kian membesar. Alhasil, petani tembakau masih menghadapi persoalan klasik, seperti yang dihadapi banyak komoditas lain. Yakni urusan kualitas, produktivitas, dan rantai distribusi yang terlalu panjang. (lebih lanjut baca halaman 14-15). Potensi Rp 148 triliun Bukan hanya itu, kebijakan ini juga dinilai kontraproduktif terhadap upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara. Danang Girindrawardana menghitung, ada potensi kehilangan pemasukan negara sekitar Rp 148 triliun jika Permendag 84/2017 tetap dijalankan. Dasarnya, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik, itu, sekitar 40% kebutuhan nasional dipasok dari tembakau impor. Dus, jika tidak dikaji ulang, mau tidak mau, pabrik rokok berpotensi mengurangi produksi secara signifikan sehingga berdampak pada penerimaan negara. Alhasil, lantaran banyaknya masukan dari pemangku kepentingan di industri tembakau, Kemendag pun menyempurnakan aturan ini. Aturan ketentuan impor tembakau tetap akan diberlakukan tahun ini. Namun, besar kemungkinan tidak bisa dilaksanakan secara utuh mulai 8 Januari 2018.
Daripada jadi mudarat mending disempurnakan biar jadi manfaat, ya!
Berikutnya: "Yang Dibantu Malah Kurang Setuju" * Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 8 - 14 Januari 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Maksudnya Baik, Jadi Kontraproduktif" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga