KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana pembatasan dalam pembelian Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), yakni Pertalite, kembali menggema setelah harga minyak mentah kembali meroket. Berbagai pendapat mewarnai isu ini. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, pembatasan memang perlu dilakukan dalam pembelian Pertalite. Alasannya, potensi terjadinya migrasi pengguna Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Pertalite ke Pertamax akan semakin besar di tengah selisih harga antara Pertalite dengan produk-produk BBM yang tidak mendapat kompensasi dan subsidi dari pemerintah. “Hal ini akan membuat keuangan negara dan juga Pertamina akan semakin berat akibat naiknya beban kompensasi dan subsidi yang harus ditanggung. Jadi, mau tidak mau suka tidak suka harus segera dilakukan pembatasan ini,” tutur Mamit kepada Kontan.co.id (2/6).
Seperti diketahui, sejumlah badan usaha memang sempat memutuskan untuk menetapkan kenaikan harga pada produk-produk Jenis BBM Umum (JBU) seturut harga minyak mentah yang mendaki. Pertamina salah satunya. Kontan.co.id mencatat, perusahaan pelat merah itu telah menaikkan harga produk Pertamax pada tahun ini, sejalan dengan kenaikan harga minyak mentah global.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Batasi Pembeli Pertalite dan Solar Bersubsidi Berbeda dengan harga produk-produk JBU yang tidak mendapat kompensasi maupun subsidi, harga Pertalite masih dijaga oleh pemerintah agar tidak saat tulisan ini dibuat. Buntutnya, selisih perbedaan harga antara Pertalite dengan produk-produk JBU yang memiliki research octane (RON) lebih tinggi seperti Pertamax jadi melebar. Mengutip publikasi harga BBM Pertamina terkini yang dirilis April 2022 lalu, harga Pertalite berada di angka Rp 7.650 per liter untuk semua wilayah. Sementara itu, harga Pertamax tercatat berkisar Rp 12.500 per liter hingga Rp 13.000 per liter, tergantung wilayah penyalurannya. Produk BBM yang sekelas Pertamax pada SPBU non Pertamina bahkan ada yang memiliki harga lebih tinggi. Shell Super misalnya. Harga produk BBM yang juga memiliki nilai oktan atau RON 92 itu mencapai sebesar Rp 17.500 per liter berdasarkan update harga terkini per 1 Juni 2022. Artinya, selisih harga antara Pertalite dengan produk JBU dengan nilai oktan 92 bisa mencapai Rp 4.850 per liter atau bahkan Rp 9.850 per liter. Diakui Mamit, reaksi resisten dari masyarakat mungkin saja terjadi atas pembatasan dalam pembelian Pertalite. Untuk itu, Mamit menilai sosialisasi menjadi langkah yang penting untuk dilakukan jika hendak menerapkan kebijakan pembatasan.
Baca Juga: Harga Pertalite, Elpiji, dan Listrik Tak Naik, Pemerintah Menombok Rp 520 Triliun Selain itu, menurut Mamit, Pertamina juga perlu bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam menjaga keamanan di setiap SPBU guna mengantisipasi potensi konflik antara pembeli dan operator.
Menyoal mekanisme, Mamit bilang bahwa pembatasan pembelian Pertalite dilakukan dengan skema subsidi tertutup atau subsidi langsung. Caranya bisa berbagai macam, mulai dari pembelian melalui aplikasi, kartu, ataupun voucher. Mamit tidak menampik, opsi pemakaian teknologi seperti aplikasi bisa saja memicu antrean yang mengular dalam pembelian Pertalite. Namun hal ini menurutnya bisa diantisipasi. “Potensi (munculnya antrean panjang) pasti ada, apalagi misalnya dispensernya cuma satu. Jadi saya kira perlu ada penambahan
dispenser di SPBU-SPBU yang menjual BBM subsidi dan kompensasi ini. Verifikasi saya kira dilakukan di awal sebelum terjadinya transaksi atau pada saat pendaftaran aplikasi,” pungkas Mimit. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari