KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pembayaran bunga utang pemerintah dikhawatirkan akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Tahun ini, pemerintah akan membayar bunga utang sebesar Rp 497,3 triliun. Pembayaran bunga utang itu meningkat 11,55% dari realisasi pembayaran bunga utang di 2023 yang sebesar Rp 439,88 triliun. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, beban bunga utang tersebut sudah cukup membebani ruang fiskal yang semakin terbatas, disamping adanya kewajiban pemerintah membayar utang jatuh tempo.
Baca Juga: Pembayaran Bunga Utang Tahun 2024 Meningkat 11,55% dari Tahun Lalu Jika dibandingkan dengan anggaran belanja negara, pembayaran bunga utang tersebut setara 14,96% dari anggaran belanja negara tahun ini yang nilainya mencapai Rp 3.325,1 triliun. “Di sisi lain, upaya meningkatkan penerimaan negara juga semakin tidak mudah disaat ekonomi global melambat dan harga komoditas melesu,” tutur Eko kepada Kontan, Minggu (21/10). Eko juga menilai, kemampuan pemerintah untuk membayar utang akan bergantung terhadap realisasi penerimaan negara tahun ini. Jika mengacu pada tahun 2023, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp 92,2 triliun. Surplus ini terjadi kembali terjadi sejak 10 tahun terakhir yakni pada 2011. Keseimbangan primer yang surplus di 2023 juga merupakan pertanda positif, sebab awalnya dalam APBN 2023 keseimbangan primer didesain defisit Rp 256,8 triliun, kemudian dalam Perpres 75/2023 didesain defisit yang menjadi lebih rendah yakni Rp 38,5 triliun.
Baca Juga: BI: Pinjaman Korporasi Ke Perbankan Mayoritas untuk Operasional dan Bayar Utang Keseimbangan primer yang mencatatkan surplus tersebut mengindikasikan pemerintah tidak lagi membayar bunga utang dengan menambah utang baru. Meski begitu, Eko menyebut masih terlalu dini untuk mengasumsikan mengasumsikan tahun ini apakah keseimbangan primer akan mencatatkan surplus atau defisit. Adapun keseimbangan primer tahun ini didesain mencatatkan defisit Rp 25,5 triliun. “Karena ini cuma persoalan manajerial mengeluarkan belanja saja. Kalau di depan risiko besar seperti dampak El Nino, maka pemerintah tinggal ngerem agar defisit tidak bengkak di akhir tahun, dan sebaliknya,” jelasnya. Faktor lain yang akan mempengaruhi keseimbangan primer tahun ini, kata Eko adalah terkait target defisit yang tertuang dalam APBN 2024 yakni 2,29% dari PDB. Untuk mencapai target defisit APBN, pemerintah masih harus menghadapi tantangan melandasinya harga komoditas yang berpotensi mengurangi target penerimaan negara. Di samping itu, kondisi ekspor seperti ke China juga diperkirakan melambat mengingat perekonomian di negara tersebut sedang menurun.
Baca Juga: Posisi Utang Pemerintah Capai Rp 8.144,69 Triliun di Akhir 2023 Selain itu, tahun ini merupakan tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat, hingga ambisi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setidaknya 5,2% harus dicapai. “Dalam situasi ekonomi Indonesia yang melambat membutuhkan stimulant atau dorongan dari belanja yang perlu dipercepat,” ungkapnya. Lebih lanjut, Eko menilai adanya pemilihan umum memang akan mendorong konsumsi, tetapi investasi swasta jangka panjang juga akan tertahan sampai pertengahan tahun, dan perekonomian dikhawatirkan tumbuh melandai. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto