Pembelian properti Singapura oleh orang RI, turun



SINGAPURA. Serupa dengan Indonesia, tren pasar properti Singapura juga tengah mengalami perlambatan. Hal ini dipicu oleh pengetatan kredit, dan pengenaan pajak properti atau additional stamp duty (ASD) untuk orang asing sebesar 18%. 

Kondisi demikian mengurangi minat orang asing membeli properti di Singapura. Terutama pembelian residensial, dan kondominium untuk semua kelas. Alhasil penjualan properti, mengalami penurunan, sehingga harga pun tertekan. 

Pembeli asing mancangera yang saat ini didominasi Tiongkok, Indonesia, dan Malaysia juga mengalami penurunan. Pasalnya, mereka sebagian besar membeli properti dengan motif investasi.


Urban Redevelopment Authority (URA) melaporkan perkembangan harga properti residensial yang dibangun pengembang swasta, mengalami penurunan sebesar empat persen selama tahun 2014.

Penurunan terbesar terjadi pada kuartal keempat yakni satu persen dibandingkan kuartal III dengan angka 0,7%. Penurunan ini sejatinya telah berlangsung pada kuartal IV 2013 dan terus berlanjut hingga menjelang tutup tahun 2014.

Secara umum, indeks properti perumahan juga anjlok 2,1 poin dari 207,9 poin pada kuartal III 2014 menjadi 205,8 poin pada kuartal IV 2014.

Kemerosotan terjadi di semua segmen pasar. Di kawasan utama atau Core Central Region (CCR), harga rumah turun 0,9% sepanjang empat bulan terakhir 2014. Angka penurunan ini lebih besar dari kuartal sebelumnya yakni 0,8%," tulis URA.

Demikian halnya dengan harga rumah di luar kawasan utama atau Outer Central Region (OCR), melorot 1,2% pada kuartal IV tahun lalu. Jauh lebih tinggi ketimbang penurunan kuartal sebelumnya sebesar 0,4% . Sementara di kawasan tengah (RCR), harga turun 0,9% , pada kuartal IV, lebih besar dari kuartal III yang hanya 0,3% .

Dengan demikian, lanjut URA, sepanjang 2014, harga rumah di CCR, RCR, dan OCR jatuh masing-masing sebesar 4,1%, 5,2%, dan 2,2%. 

Pembeli Indonesia 

Menurunnya jumlah pembeli properti Singapura asal Indonesia, menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, karena keuntungan investasi yang didapat berkurang. Ini dipicu oleh tertekannya harga dan aksi tunda para penyewa.

"Sebagian besar pembeli properti asal Indonesia itu investor yang mengharapkan keuntungan modal dan imbal hasil. Dengan kondisi terkini Singapura membuat minat mereka berkurang. Mereka terkena dampak ASD 18% dan jatuhnya harga," ujar Hendra kepada Kompas.com, Jumat (29/5/2015).

Pernyataan Hendra sejatinya bukan hal baru. Penyusutan jumlah orang Indonesia yang membeli properti Singapura telah terjadi selama tiga tahun terakhir. Hasil survei Knight Frank Indonesia mengonfirmasikan itu. Pada kuartal II 2014 hanya sebanyak 179 orang. Jumlah ini menyusut dibanding tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai ribuan orang.

Tahun 2013 jumlah pembeli Indonesia tercatat masih mencapai 896 orang atau sekitar 21,65% dari total pembeli asing atau kelompok tiga besar. Mereka membeli properti kondominium. Sementara Tiongkok sejumlah 1.495 pembeli (36,13%), dan Malaysia 1.291 pembeli (31,20%).

Sementara pada tahun 2012, terdapat 1.511 orang (23,98%) yang memborong properti di Negeri Singa tersebut. Setahun sebelumnya, jumlah pembeli lebih banyak lagi, yakni 1.794 orang (23,58%).

Selain terjadi penyusutan jumlah pembeli, preferensi properti yang dibeli pun mengalami pergeseran. Jika dulu orang Indonesia lebih meminati properti di distrik 9 hingga distrik 10, atau dekat pusat bisnis Orchard Road, kini berpaling ke distrik-distrik di wilayah selatan. Pasalnya, harga properti di distrik 9-10 sudah terlalu tinggi.

Menurut Knight Frank, orang-orang Indonesia tertarik membeli properti di wilayah selatan Singapura karena ada perluasan pembangunan mass rapid transit (MRT Line) hingga 2030 mendatang. Di wilayah ini, harga properti yang ditawarkan masih terhitung kompetitif, namun potensi pertumbuhannya sangat tinggi. Terutama untuk kondominium kelas menengah.  (Hilda B Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa