Pembentukan RUU Komoditas Strategis Harus Dibarengi Pembangunan Ekosistem Industri



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah menjaring masukan untuk menyusun program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025. Salah satu rancangan undang – undang (RUU) yang rencananya masuk adalah RUU tentang Komoditas Strategis. 

Rencananya 10 komoditas akan masuk dalam RUU tentang Komoditas Strategis. Antara lain, cengkeh, kakao, karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, sagu, tebu, teh, dan tembakau. 

Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menilai, sejauh ini yang kerap menjadi perhatian pemerintah masih di komoditas pangan strategis. Sehingga sebagian besar alokasi anggaran dan dukungan kebijakan berfokus kesana. 


Sementara untuk komoditas perkebunan selain kelapa sawit kurang diperhatikan dan dukungannya kurang memadai. Seperti misalnya pupuk subsidi yang didesain khuusus tanaman perkebunan ini belum ada.

Padahal potensi pengembangan tanaman perkebunan ini terbilang sangat besar dan dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi.  

Baca Juga: Komisi V Dorong Revisi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Minta Ojol Diregulasi

Menurut Eliza, dengan adanya RUU komoditas strategis setidaknya pengembangan komoditas perkebunan dapat semakin terarah dan mendapatkan dukungan kebijakan yang memadai. 

Eliza menyatakan bahwa yang paling penting dari RUU ini adalah tindak lanjut pemerintah dalam membuat perencanan yang komprehensif dan sesuai kaidah ilmiah untuk membangun industri turunannya. Ini yang akan menciptakan nilai tambah di dalam negeri dan kesejahteraan petani dapat meningkat. 

“Karena jika hanya RUU tanpa ada tindaklanjutnya, ini hanya akan menjadi angan angan saja dalam pengembangan komoditas. Pemerintah harus serius membangun ekosistem industrinya agar tidak keropos ditengah dan membangun linkage usaha menengah kecil dengan usaha besar,” jelas Eliza kepada Kontan, Jumat (8/11). 

Sebelumnya Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Safwani menjelaskan, saat ini luas kebun kelapa sawit sekitar lebih 16,38 juta hektar dengan produksi 48 juta ton. Dari jumlah tersebut, 59% perkebunan sawit dimiliki BUMN dan swasta, dan 41% dimiliki oleh pekebun rakyat. 

Safwani mengungkapkan sejumlah tantangan dan hambatan yang dihadapi industri sawit. Diantaranya, produksi sawit relatif stagnan dan cenderung turun dan banyaknya kementerian/lembaga yang mengatur dan/atau terlibat dalam industri sawit (37 instansi terlibat). 

Dia juga mengatakan maraknya kampanye negatif terhadap produk industri kelapa sawit di dalam maupun di luar negeri. 

“Kadang – kadang (aturan) tidak sinkron dan saling bertabrakan satu sama lain,” ujar Safwani dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Baleg DPR, Senin (4/11). 

Padahal, lanjut Safwani, prospek sawit kedepan masih sangat menjanjikan. Baik untuk swasembada pangan, energi, industry oleokimia, dan ekspor. Maupun penyerapan tenaga kerja dan pengembangan wilayah. 

Pengembangan industri hilir berbasis sawit untuk meningkatkan nilai masih sangat memungkinkan. 

Sebab itu, Gapki menilai sudah saatnya diperlukan undang – undang (UU) khusus yang mengatur pengembangan sawit dari hulu ke hilir yang terintegrasi. Sehingga peran sawit dapat dipertahankan Bahkan ditingkatkan. 

“UU Perkebunan sudah ada, tapi undang – undang yang khusus mengenai kelapa sawit dengan kontribusinya yang begitu besar, masih belum ada. Mohon bisa menjadi pertimbangan di Badan Legislasi (DPR) ini,” pungkas Safwani.

Baca Juga: Industri Sawit Hadapi Banyak Tantangan, Gapki Sebut Ini yang Harus Dilakukan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati