KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil nasional menyambut baik langkah Kementerian Keuangan dalam memberantas impor ilegal sebagai tindak lanjut arahan Presiden Prabowo untuk mengoptimalkan pendapatan dari kegiatan ekonomi bayangan (
shadow economy). Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyebut praktik impor ilegal sebagai salah satu penyebab utama menurunnya kinerja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Dalam satu dekade terakhir, sektor ini memasuki tren deindustrialisasi yang diperparah dengan pailitnya Sritex, tutupnya pabrik Sepatu Bata, dan penutupan 30 perusahaan tekstil yang mem-PHK ratusan ribu karyawan dalam dua tahun terakhir.
“Meski ada perbedaan pandangan antar-menteri, kami yakin Presiden Prabowo akan konsisten memberantas impor ilegal demi menciptakan birokrasi bersih dan menyelamatkan industri TPT,” ujar Redma dalam keterangan resminya, Minggu (24/11).
Baca Juga: TPIA Memperkuat Bisnis Logistik Ia juga mengapresiasi peran Menkopolhukam dalam memimpin langkah tegas untuk mengatasi persoalan ini. Menurutnya, pemberantasan impor ilegal membutuhkan upaya ekstra karena melibatkan banyak pihak, termasuk oknum aparat penegak hukum yang melindungi aktivitas tersebut. Agus Riyanto, Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, menegaskan pentingnya konsistensi dalam memberantas impor ilegal. Ia mengingatkan bahwa data perdagangan internasional (
trade map) menjadi indikator utama untuk menilai keberhasilan upaya ini. “Selama selisih perdagangan masih besar dan barang murah tanpa PPN terus membanjiri pasar, impor ilegal masih terjadi,” katanya. Agus juga mengkritik pandangan Menkeu yang menyalahkan
oversupply dan hambatan dagang di negara tujuan ekspor sebagai pemicu utama. Ia menegaskan, tugas prioritas Menkeu adalah meningkatkan integritas aparat Bea Cukai dan memperbaiki sistem kepabeanan. Sementara itu, Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) memprotes rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Menurut Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, kenaikan ini akan sepenuhnya dibebankan pada konsumen akhir. Ia menjelaskan bahwa dalam rantai produksi tekstil yang panjang, PPN 11% saat ini sebenarnya sudah menghasilkan beban efektif sebesar 19,8% pada konsumen akhir. Dengan kenaikan PPN menjadi 12%, beban ini meningkat menjadi 21,6%. “Di tengah daya beli masyarakat yang melemah, kenaikan PPN justru dapat menurunkan konsumsi tekstil, yang pada akhirnya kontra produktif terhadap tujuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan,” ungkap Ardiman. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada pemberantasan impor ilegal, yang menurut data lima tahun terakhir telah menyebabkan potensi kehilangan penerimaan negara hingga Rp46 triliun. “Dengan memberantas impor ilegal, penerimaan negara bisa bertambah Rp9 triliun per tahun tanpa harus menaikkan PPN,” tambahnya. Selain itu, Ardiman optimistis pemberantasan impor ilegal akan menghidupkan kembali industri TPT domestik. Pabrik-pabrik tekstil yang meningkatkan kapasitas produksinya akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong konsumsi. Dengan begitu, penerimaan negara dari PPN akan tumbuh secara alami seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat.
Baca Juga: Pengusaha Meminta Kenaikan PPN Ditunda Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati