KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan insentif pendorong ekonomi kini menjadi bagian penting dari strategi pengeluaran pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salah satu bentuknya adalah pemberian bantuan langsung tunai (BLT) dan pajak ditanggung pemerintah (DTP) yang diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa insentif ini terbagi menjadi dua jenis: insentif langsung (
direct government spending policy) dan insentif tidak langsung (
indirect government spending policy).
Baca Juga: 3 Bansos Bakal Cair, Cara Cek Apakah Anda Penerima Bansos November 2024 Lewat NIK KTP “Bantuan langsung tunai atau sejenisnya yang diberikan langsung ke masyarakat adalah contoh dari
direct government spending policy. Sedangkan, insentif fiskal berupa pajak ditanggung pemerintah (DTP) adalah contoh dari
indirect government spending policy,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Rabu (13/11). Prianto berpendapat bahwa kedua jenis insentif ini dapat menggairahkan permintaan dan daya beli masyarakat. Dana tambahan yang diperoleh masyarakat, baik dari bantuan langsung maupun pengurangan pajak, diharapkan akan meningkatkan konsumsi. Efek domino pun tercipta, di mana pedagang dan pemasok memperoleh peningkatan pendapatan sebagai imbas dari meningkatnya permintaan, yang pada akhirnya memicu pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Pemerintah Beri Sinyal Insentif PPN DTP Perumahan Bakal Lanjut Sampai Tahun Depan Namun, ia menambahkan bahwa insentif fiskal lebih sering dipilih saat kondisi perekonomian tidak terlalu parah. Pemerintah biasanya mengalokasikan belanja pajak sesuai anggaran yang ditetapkan dalam APBN. “Insentif fiskal berupa pajak DTP adalah bagian dari insentif yang diatur dalam UU APBN, bukan UU Perpajakan,” jelasnya. Prianto juga mencatat bahwa masyarakat kelas menengah seringkali menjadi penerima manfaat insentif pajak DTP, misalnya pada pembelian kendaraan listrik dan properti. Karena harga barang-barang tersebut relatif tinggi, konsumennya cenderung berasal dari kelas menengah. Terkait perubahan tarif pajak, Prianto menambahkan bahwa penyesuaian tarif PPh dan PPN biasanya diajukan melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan dibahas bersamaan dengan Rancangan APBN (RAPBN).
Baca Juga: Kemenkeu Proyeksikan 54.000 Unit Rumah Manfatkan Insentif PPN DTP Hingga Akhir 2024 Namun, pada APBN 2025 yang sudah disepakati, tarif PPN akan naik menjadi 12% sesuai revisi UU HPP. Dampak langsung pemberian insentif ini terlihat dari stabilnya daya beli masyarakat. Ketika daya beli pulih, pengusaha dapat mempertahankan produksi dan menghindari pemutusan hubungan kerja.
Pada akhirnya, perekonomian diharapkan dapat pulih, memungkinkan pemerintah untuk kembali mengenakan pajak secara normal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto