Pemberian IUPK Freeport rawan gugatan



JAKARTA. Rencana pemerintah memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia sesegera mungkin tampaknya akan menimbulkan protes dari berbagai kalangan. Bahkan, keputusan tersebut dapat mengundang gugatan class action yang justru merugikan Indonesia. Budi Santoso, Ketua Working Group Kebijakan Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi), mengatakan, pemberian IUPK kepada Freeport saat ini ataupun dua tahun sebelum kontrak berakhir melanggar ketentuan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Sehingga, keputusan tersebut berpotensi digugat oleh masyarakat (class action). "Bagaimana kalau pemerintah kalah di Mahkamah Konstitusi (MK), izin operasi Freeport pun harus dicabut. Kalau begitu, ini bisa diadukan ke arbitrase, karena perusahaan dirugikan," kata Budi kepada KONTAN, Senin (22/6). Menurut Budi, pemberian IUPK kepada perusahaan swasta atau asing tertentu seharusnya telah melalui berbagai proses, dan tidak bisa dengan penunjukan langsung. Misalnya, mulai penawaran ke BUMN, hingga proses dari tahap pelelangan. Asal tahu saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan akan mempercepat pengalihan pola konsesi pertambangan Freeport dari kontrak karya (KK) menjadi IUPK dalam proses pembahasan draf amandemen kontrak.

Hal tersebut berdasarkan hasil pertemuan antara Menteri ESDM dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin dan James Moffett, Chairman Freeport McMoRan, Selasa (10/6). Dengan keputusan tersebut, nantinya pasca penandatanganan draf amandemen KK oleh kedua pihak, status Freeport otomatis beralih menjadi IUPK. Sehingga, Freeport berhak mendapatkan jangka waktu operasi tambang hingga 20 tahun ke depan, atau hingga 2035 mendatang apabila penetapan IUPK diberikan tahun ini. Sudirman Said, Menteri ESDM, mengaku, pihaknya tengah mengkaji kapan waktu yang pas untuk pemberian IUPK ke Freeport. Dia mengatakan, pemberian izin tersebut pada tahun ini tidak akan melanggar UU Minerba, bahkan posisi pemerintah akan menjadi lebih kuat. "Kami akan dengar dari semua pihak, dan belum ada keputusan apa pun," ujar dia. Selain itu, proses pemberian IUPK juga akan disinkronkan dengan kajian kementerian lainnya mengingat Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tim Kajian Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam bagi Pembangunan Ekonomi Papua. Tim yang dipimpin Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tersebut bertugas merumuskan langkah-langkah yang perlu dilakukan agar dapat menggelar pembangunan smelter tembaga di Papua. "Kepala Bappenas juga diberikan tugas untuk melakukan kajian," ujar  Sudirman.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Mesti Sinaga