Pembiayaan sektor ekonomi kreatif



Sektor ekonomi kreatif dunia terus menggeliat dan diyakini oleh sementara kalangan bakal menjadi salah satu pilar penting penciptaan lapangan kerja, inovasi serta produktivitas di masa depan. Bagaimana dengan kondisi ekonomi kreatif kita?

Ekonomi kreatif boleh dibilang merupakan sebuah konsep yang masih relatif baru. Istilah ini muncul pertama kali di Australia tahun 1990-an dan kemudian mulai mendapat perhatian luas secara global dari para pelaku bisnis tatkala Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga Inggris (Department for Digital, Culture, Media & Sport, disingkat DCMS) membuat sebuah gugus tugas dan unit khusus ekonomi kreatif.

DCMS memberi definisi ekonomi kreatif sebagai sektor ekonomi yang bersumber pada gagasan kreatif, keterampilan dan bakat-bakat individu yang berpotensi menciptakan lapangan kerja dan kemakmuran lewat penciptaan dan pemanfaatan kekayaan intelektual.


Sejauh ini, ekonomi kreatif kita meliputi enam belas subsektor yaitu bidang animasi video, aplikasi dan gim developer, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fesyen, film, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, serta televisi dan radio.

Data statistik ekonomi kreatif yang dikeluarkan Badan Ekonomi Kreatif, Maret 2017 silam,  memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 2010-2015, besaran produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif naik dari Rp 525,96 triliun menjadi Rp 852,24 triliun (naik rata-rata 10,14% per tahun).  Secara keseluruhan, sektor  ekonomi kreatif memberikan kontribusi  7,38% terhadap total perekonomian nasional.

Persoalan di modal

Terdapat tiga subsektor yang saat ini memberikan kontribusi PDB paling besar, yaitu kuliner (42,69%), fesyen (18,15 %) dan kriya (15,70%). Sementara itu, empat subsektor yang memiliki pertumbuhan paling pesat yakni desain komunikasi visual (10,28%), musik (7,26%), animasi video (6,68%) dan arsitektur (6,62%).

Sepanjang periode 2014-2015, tatkala ekspor nonmigas kita mengalami penurunan, ekspor ekonomi kreatif kita justru mengalami kenaikan, dari US$ 18,2 miliar jadi US$ 19,4 miliar. Ekspor ekonomi kreatif kita paling besar berasal dari subsektor fesyen (56%), disusul kriya (37%), kuliner (6%) dan subsektor lainnya (1%).

Meski diakui punya potensi dan bisa memberi kontribusi lumayan bagi perekonomian nasional, industri kreatif masih kurang mendapat dukungan soal pendanaan.

Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2016, pembiayaan perbankan untuk sektor ekonomi kreatif telah mencapai Rp 5,1 triliun. Jumlah tersebut meningkat 18,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar dari pembiayaan senilai Rp 5,1 triliun tersebut digelontorkan untuk subsektor kuliner Rp 2,86 triliun, kriya senilai Rp 1,14 triliun serta fesyen dan penerbitan yang menerima sebesar Rp 339 miliar dan Rp 332 miliar.

Sayangnya, hasil survei khusus ekonomi kreatif (SKEK) yang dilakukan oleh Badan Ekonomi Kreatif bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik, tahun 2016, menunjukkan ternyata baru sekitar 24,44% pelaku ekonomi kreatif kita yang mampu mengakses modal perbankan. Masih sedikitnya pelaku ekonomi kreatif kita yang memanfaatkan pembiayaan dari perbankan disebabkan terkendala dengan masalah agunan. Mereka, terutama para pelaku ekonomi kreatif industri kecil menengah (IKM) serta start up, tidak memiliki agunan fisik.

Disinilah problemnya. Sebagian besar bank di sini masih mensyaratkan agunan fisik untuk syarat pokok mendapat pinjaman. Padahal, bisa saja bank mengadopsi agunan nonfisik dalam bentuk inventori, misalnya, sebagai jaminan peminjaman modal.

Tentu, masalah pembiayaan bank ini mesti segera dicarikan solusi, sehingga aspek permodalan tidak lagi menjadi kendala utama bagi para pelaku ekonomi kreatif yang hendak mengembangkan bisnis. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi pihak perbankan dan para pelaku ekonomi kreatif yang kesulitan mendapatkan pinjaman  karena tak memiliki agunan fisik.

Tanpa adanya sokongan dan fasilitasi dalam hal permodalan, dikhawatirkan bisnis para pelaku ekonomi kreatif, yang sesungguhnya sangat potensial untuk tumbuh, berkembang dan menjadi besar, malah pelan-pelan bakal layu sebelum berkembang dan akhirnya mati. Sungguh sayang apabila hal seperti ini terjadi.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi