Pemegang Hak Goa Walet Gugat Dephut



JAKARTA. Langkah Departemen Kehutanan (Dephut) mengembalikan hak pengelolaan goa sarang walet di Berau, Kalimantan Timur dua tahun lalu belum menyelesaikan masalah. Kini, para pemegang hak dan pengelola gua itu malah menggugat Dephut dan menuntut ganti rugi hingga triliunan rupiah.

Para penggugat itu adalah Abdulrahman Ismail dan Hendrik Wijaya sebagai pemegang kuasa sarang walet di Gua Kullat dan Gua Ranggasan. Mereka mengaku telah dirugikan. Selama 11 tahun mereka tak bisa mengelola usaha sarang walet di gua itu, sebab Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut telah mengalihkannya kepada PT Walet Lindung Lestari pada Januari 1997 silam.

Dephut telah mencabut keputusannya itu pada Februari 2007 silam dan mengembalikan pengelolaan gua itu kepada Abdulrahman dan Hendrik. Namun duanya lantas menuntut pertanggungjawaban Dephut dan Walet Lindung dengan meminta ganti rugi hingga Rp 9,5 triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang perdana kasus ini sudah digelar akhir pekan lalu.


Dasar kepemilikan gua oleh dua penggugat itu adalah Surat Keputusan Bupati Dati II Bureau No. 145/ 1995 soal Pemberian Izin Pengelolaan dan Penguasaan Sarang Burung Walet di Goa Kullat dan Goa Ranggasan. Abdulrahman dan Hendrik mendapat mandat mengelola gua sarang burung walet tersebut dari warga sekitar.

Tapi, pada Januari 1997, Walet Lindung Lestari yang dipimpin Umar Aswinoto mengajukan surat permohonan mengelola dua gua sarang burung walet itu ke Dephut. "Dephut memberi izin Walet Lindung pengelolaan gua walet lain di kawasan itu," ujar Supendi Hasjim, kuasa hukum Abdulrahman dan Hendrik.

Perlawanan masyarakat dan pengelola lama selama bertahun-tahun untuk mengambil alih kembali gua-gua itu dari perusahaan yang mendapat izin dari Dephut sia-sia. Sampai-sampai, masyarakat mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan pelbagai instansi lain.

Pada 2005, untuk pertama kali Dephut mencabut izin yang telah diberikannya untuk PT Walet Lindung. Tapi Walet Lindung yang sebelumnya telah mendapat konsesi selama 10 tahun melakukan perlawanan.

Perusahaan ini menggugat Dephut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Dephut kalah.

Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan, pada Agustus 2007 Dephut kembali mencabut izin untuk Walet Lindung. "Hak pengelolaan sarang burung walet dikembalikan ke masyarakat yang merupakan penemu dan pewaris Goa," terang Supendi. Tapi, praktis Walet Lindung tak mengelola gua lagi setelah konsesi habis pada Oktober 2008 silam.

Dalam hitungan para penggugat, kerugian lantaran tak bisa mengelola dua gua sarang walet selama lebih dari 10 tahun itu cukup besar. Menurut Supendi, selama tiga bulan, satu gua rata-rata sanggup memproduksi 700 kg sarang burung walet atau setara dengan Rp 2,4 miliar. Artinya, setahun, satu gua bisa mendulang omzet Rp 9,6 miliar. Hitung saja kalau itu terjadi lebih dari 10 tahun.

Apalagi, selama memperjuangkan kembali gua sarang walet itu, baik Abdulrahman maupun Hendrik pernah mengalami tekanan yang luar biasa. Mereka pernah dijebloskan ke penjara lantaran dituduh telah mencuri sarang burung walet atas laporan Walet Lindung.

Meski begitu, Kepala Bidang Analisis Data dan Penyajian Informasi Dephut Mashud mengaku belum mau berkomentar soal kasus ini. "Saya belum mendengar. Kita lihat saja nanti," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan