Pemeriksaan pajak tetap lewat self assessment



JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memastikan belum bisa mengecek informasi keuangan nasabah terkait perpajakan meskipun pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi mengatakan, Ditjen Pajak harus menunggu selesainya pembahasan Perppu ini dengan DPR serta aturan turunan yang berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbit. "Belum, belum ada PMK, kami menunggu PMK. PMK kan masih dibahas," kata Ken di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (19/5). Ia melanjutkan, dengan akses data nasabah, Ditjen Pajak tidak memiliki target yang menjadi prioritas utama Ditjen Pajak untuk menyisir wajib pajak. Artinya, baik wajib pajak yang telah ikut tax amnesty atau tidak ikut, datanya bisa dilihat untuk kemudian ditentukan harus dilakukan pemeriksaan atau tidak. “Tidak ada yang diincar. Yang menunjukkan perbedaan yang sudah ikut amnesti pajak dan yang tidak (untuk diawasi) adalah datanya komplit atau tidak. Itu saja, karena memeriksa harus ada data, tidak ujug-ujug. Pemeriksaan tetap self assessment,” jelasnya, Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa secepatnya akan mengeluarkan PMK terkait Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini. Ia menargetkan PMK tersebut dapat terbit sebelum 30 Juni 2017. Dalam PMK tersebut, akan diatur secara teknis tata cara ataupun mekanisme pelaksanaan akses informasi keuangan nasabah untuk kepentingan perpajakan. “Prosedurnya, itu termasuk yang akan diatur. Ada juga bagaimana format laporannya, batasan saldo yang mengikuti standar internasional. Adapun sanksi bila lembaga keuangan tidak mengikuti aturan ini,” katanya. Direktur Utama Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, Perppu ini menjadi pintu pembuka, sehingga pekerjaan rumah berikutnya adalah integrasi NPWP ke NIK (Nomor Induk Kependudukan). Ia menjelaskan, data pengampunan pajak mengkonfirmasi bahwa jenis harta yang terbanyak dideklarasikan adalah aset keuangan sebesar Rp 2.900 triliun atau 56% dari total deklarasi harta, dan sekitar Rp 2.100 triliun berada di dalam negeri. Hal ini menurut Yustinus menunjukkan bahwa Ditjen Pajak bahkan kesulitan untuk menjangkau data wajib pajak di dalam negeri. “Fakta ini tentu saja menjawab problem mendasar stagnasi rasio pajak yaitu terbatasnya akses terhadap data keuangan/perbankan. Dalam konteks efektivitas pemungutan pajak, kuncinya adalah mengawinkan siapa (identitas) melakukan apa (aktivitas),” terangnya. Ia melajutkan, dengan akses yang luas ini, kemudian diikuti implementasi Compliance Risk Management (CRM) yang akan mengolah seluruh informasi/data wajib pajak, akan dapat diperoleh profil wajib pajak secara akurat dan mengklasifikasikan wajib pajak berdasarkan risikonya “CRM yang presisi dan kredibel akan sangat membantu, karena outputnya penting. WP yang relatif patuh tidak akan jadi sasaran pemeriksaan, sebaliknya sasaran ke WP tidak patuh. Melalui CRM, hasilnya sudah menggambarkan profile WP yang akurat,” kata Yustinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan