Pemerintah Ajukan Peraturan Darurat untuk Tangani Krisis



JAKARTA. Pemerintah akan mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai payung hukum untuk mengatasi krisis keuangan yang terjadi saat ini. Selain mengubah UU tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), perpu tersebut juga akan mengatur tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan saat ini pemerintah, bersama Bank Indonesia (BI), Bappepam, Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK), dan LPS telah melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan yang mungkin perlu diubah untuk menghadapi situasi krisis ekonomi yang terjadi saat ini. "Menghadapi suasana krisis yang meningkat dan sangat kritikal, maka pemerintah akan menentukan termasuk di dalamnya melakukan berbagai proposal, juga menyampaikan perpu kepada DPR," kata Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (9/10). Dengan perpu tersebut, pemerintah, BI dan FSSK berharap bisa melakukan respons dan mengambil keputusan didalam suasana yang lebih pasti. Pengajuan perpu kepada DPR dilakukan dengan perubahan peraturan UU; sehingga pemerintah, BI, dan LPS bisa bereaksi terhadap pelaksanaan atau persoalan khusus yang muncul seperti krisis saat ini. "Termasuk juga untuk situasi khusus seperti krisis di negara lain yang kemudian menularkan sentimen ke dalam negeri," tegas Ani.  Perpu akan diajukan pemerintah untuk menaikkan jumlah penjaminan LPS. Termasuk di dalamnya adalah mekanisme, kriteria, dan jumlah penjaminan terhadap pinjaman. Selain itu, termasuk juga bagaimana persyaratan Bank Indonesia untuk memberikan sokongan likuiditas kepada perbankan dalam JPSK. "Kita sedang melakukan pematangan dan akan menyampaikan perpu kepada DPR untuk melengkapi kemampuan pemerintah bersama BI untuk mengatasi situasi ini," imbuh Ani.  Di sisi lain, pemerintah akan melaksanakan lima langkah untuk mengembalikan situasi kondusif perekonomian nasional terutama dari sisi bursa saham, pasar uang, dan sistem perbankan. Langkah-langkah ini akan efektif berlaku pagi ini sampai pasar benar-benar tenang. "Kami harapkan ini tidak hanya memberikan kontribusi kepada bursa saham, tapi juga keseluruhan sistem perbankan kita dan pasar uang kita sehingga kondisi perekonomian dapat kita jaga bersama dan melewati tantangan krisis global saat ini," kata Ani.  Lima langkah itu menyangkut masalah mark to market, yang berhubungan dengan buy back, operasi APBN untuk menambah likuiditas dengan pencairan anggaran dari kemeterian maupun lembaga, pembelian saham BUMN yang mengalami koreksi padahal secara fundamental tidak memiliki masalah dan memiliki nilai strategis bagi pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP), dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pasar modal. Ani menyebutkan, Presiden sudah mengadakan pertemuan dengan pimpinan KPK, Kapolri, dan kejaksaan untuk menangani secara tegas tindak pidana pasar modal. "Kalau sudah menyangkut pidana kriminal, kita tidak akan segan-segan melakukan proses hukum kepada mereka yang telah melakukan tindak pidana itu," terang Ani.  Menyoal tambahan likuiditas dari belanja kementerian dan lembaga, maka dalam Oktober 2008 ini pemerintah akan merealisasikan belanja sebesar Rp 25,9 triliun. Sehingga realisasi anggaran kementerian dan lembaga pada bulan Januari sampai Oktober kumulatif menjadi Rp 173 triliun atau 59,7% dari total pagu anggaran K/L sebesar Rp 290 triliun. "Dengan perkiraan realisasi belanja dalam Oktober tersebut maka akan bertambah likuiditas dari sisi belanja kementerian dan lembaga di pasar sebesar Rp 25,9 triliun," katanya. Untuk buy back saham BUMN, maka pemerintah telah menyediakan Rp 4 triliun dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Dana tersebut sebenarnya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur 2008, namun dibelokkan pemerintah untuk membeli kembali saham BUMN. Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI Harry Azhar Aziz bilang, sebenarnya pemerintah lebih baik mengajukan RUU JPSK dan perubahan LPS dengan mekanisme normal. Namun Harry juga tidak menutup diajukannya perpu, jika pemerintah sudah menganggap keadaan sudah begitu darurat. Tetapi yang lebih penting, menurutnya, adalah substansi materinya. Ia mengatakan, kekuatan LPS sekarang sekitar Rp 6 triliun sehingga kalau terjadi rush mungkin LPS bisa saja tidak mampu menanggung itu. "Saya usul sifatnya ad hoc saja, bukan permanen, seperti model bail out Amerika Serikat saja," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: