KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mengklaim, pemerintah masih mampu membayar utang jatuh tempo tahun ini dengan menggunakan pendapatan yang diterima negara. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menyampaikan, penerimaan negara yang masih moncer bisa dilihat dari APBN hingga April 2023 yang tercatat surplus sebesar Rp 234,7 triliun. Angka itu memberikan kontribusi 1,12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu keseimbangan primer juga masih tumbuh positif. “Realisasi sampai April, APBN surplus, keseimbangan primer positif. Ini artinya menunjukkan kemampuan kita untuk membiayai belanja termasuk di dalamnya membayar bunga utang,” tutur Suminto kepada Kontan.co.id, Selasa (13/6).
Baca Juga: Komisi XI Setujui Pagu Indikatif Kemenkeu dalam RAPBN 2024 Sebesar Rp 48,35 Triliun Dia mengatakan, kemungkinan kecil pemerintah akan membayar utang menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL). Meski begitu, pemerintah masih akan melihat kondisi APBN hingga akhir tahun. “Kalau penerimaan masih cukup baik sampai akhir tahun, apakah masih sanggup dibayar (utang) dari pendapatan negara? Makannya nanti kita lihat dari sisi defisit atau surplus APBN atau dilihat dari kesimbangan primer,” jelasnya. Selain itu, pemerintah juga berencana mengurangi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) karena melihat penerimaan negara masih dalam kondisi baik. Mengacu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023, pemerintah akan mengalokasikan SAL sebagai instrumen pengurang utang dan penyangga fiskal sebesar Rp 70 triliun. Nilai tersebut lebih rendah dari SAL tahun 2022 yang sebesar Rp 127,3 triliun. Meski begitu, hingga saat ini pemerintah belum menggunakan SAL untuk membayar utang jatuh tempo pada tahun ini. Ditjen PPR mencatat, utang jatuh tempo pemerintah dalam 5 tahun ke depan mencapai Rp 2.606 triliun. Posisi utang jatuh tempo tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp 2.267 triliun dan pinjaman dengan jatuh tempo Rp 339 triliun. Lebih rinci, utang jatuh tempo yang terdiri dari pinjaman dan SBN pada 2023 yakni sebesar Rp 570 triliun, pada 2024 Rp 648 triliun, pada 2025 Rp 737 triliun, pada 2026 Rp 680 triliun, pada 2027 Rp 643 triliun. Kemudian, pada 2028 Rp 496 triliun, pada 2029 Rp 404 triliun, pada 2030 Rp 349 triliun, pada 2031 Rp 466 triliun, pada 2032 Rp 383 triliun. Lalu, pada 2033 Rp 191 triliun, pada 2034 Rp 250 triliun, pada 2035 Rp 153 triliun, pada 2036 Rp 166 triliun, pada 2036 Rp 97 triliun, pada 2037 Rp 124 triliun, pada 2038 dan Rp 73 triliun. Lalu, utang jatuh tempo pada 2039 akan mencapai Rp 146 triliun, pada 2040 Rp 25 triliun, pada 2041 Rp 165 triliun, pada 2042 Rp 76 triliun. Kemudian pada 2043 Rp 61 triliun, pada 2044 Rp 36 triliun, dan pada 2046 hingga 2071 akan mencapai Rp 512 triliun.
Sebelumnya, Suminto juga mengatakan, profil jatuh tempo utang Indonesia masih aman dengan average time maturity (ATM) 8,27 tahun, yang secara pengelolaan portofolio merupakan ATM yang baik. “Pemerintah mengelola risiko utang dengan baik, antara lain melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” imbuhnya.
Baca Juga: Tahun Depan, Pemerintah Akan Tarik Utang Luar Negeri Rp 30,22 Triliun Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat