Pemerintah Akan Cari Alternatif untuk Petani Tembakau



JAKARTA. Kementerian Pertanian tidak memungkiri jika rekomendasi kerangka kerja konvensi pengendalian tembakau (FCTC) yang merupakan bagian dari organisasi kesehatan dunia WHO akan berdampak pada petani, khususnya tembakau. Pihaknya akan mencari jalan keluar terkait hal itu. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengaku, aturan WHO tersebut memiliki argumentasi yang kuat, dan studinya jelas-jelas ada. “Pilihan bagi petani tembakau berarti tetap menanam tembakau tapi tidak digunakan untuk rokok atau mengganti tanaman lain,” ujarnya di Jakarta, Selasa (22/6). Menjadikan tembakau tidak digunakan untuk rokok, kata Bayu sedang diusahakan oleh para petani tembakau asal Temanggung bekerjasama dengan para pakar dari Universitas Gajah Mada (UGM) untuk membuat ekstrak nikotin dari tembakau. Ekstrak nikotin tersebut bisa digunakan untuk sisha seperti di Timur Tengah. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Abdus Setiawan mengakui, hal itu memang sudah dilakukan. Namun, masih dalam tahap penelitian. “Masih butuh waktu yang panjang untuk bisa merealisasikannya,” tandasnya. Pilihan ke dua adalah mengganti tanaman tembakau dengan tanaman lain. Bayu mengatakan, petani bisa beralih ke budidaya tanaman hortikultura, kopi dan ternak disesuaikan dengan kondisi agroklimat di masing-masing daerah. Sementara itu Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian Agus Hasanuddin menambahkan, pemerintah sejak dua tahun lalu sudah mencoba memberikan alternatif usaha tani lain kepada petani tembakau. Misalnya, tanaman wijen, kopi dan tanaman hortikultura. “Musti ada integrasi, misal menanam wijen atau kopi dibarengi dengan usaha peternakan, tanaman kopi kan tahunan, untuk memperoleh income reguler maka ternak bisa menjadi pilihan,” katanya. Hal itu dilakukan menyusul kebiasaan petani yang mendapati keuntungan besar dari hasil budidaya tembakau. Harga tembakau per kg saat ini mencapai Rp 50.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.