Pemerintah akan Impor 2 Juta Ton Beras, Pengamat: Keputusan Pahit dan Sulit



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memutuskan melakukan impor 2 juta ton beras pada tahun ini. Dari jumlah itu 500.000 ton harus diimpor segera untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP). 

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai langkah pemerintah melakukan impor merupakan keputusan pahit dan sulit. Sebab, izin impor justru dikeluarkan saat panen raya yang jarang terjadi. 

"Keputusan ini amat dilematis. Di satu sisi, saat ini petani menikmati harga gabah tinggi yang biasanya, saat panen raya harga tertekan. Tentu ini menguntungkan petani. Di sisi lain, karena harga tinggi Bulog kesulitan melakukan penyerapan," kata Khudori dalam keterangannya, Senin (27/3). 


Baca Juga: Mendag Benarkan Sudah Ada Putusan Impor Beras Sebanyak 2 Juta Ton

Seperti diketahui, tahun ini, Bulog ditargetkan Bapanas menyerap beras dari petani sebesar 2,4 juta ton, dimana 1,2 juta di antaranya akan menjadi stok akhir tahun. 

Dari target itu, 70% di antaranya diharapkan bisa diserap kala panen raya sampai Mei nanti. 

Namun menurut Khudori, kondisi di lapangan dimana harga beras sedang tinggi akan menyulitkan Bulog untuk memenuhi target penyerapan. Termasuk target menyerap 70% dari 2,4 juta ton beras saat panen raya. 

Pada pekan lalu, CBP yang ada di Gudang Bulog hanya mencapai 180.000 ton. jumlah ini amat kecil dari pada kebutuhan beras nasional.

Sementara mulai Maret ini Bulog juga ditugaskan untuk menyalurkan bansos beras untuk 21,35 juta keluarga penerima manfaat, dimana masing-masing keluarga akan mendapatkan beras 10 kg. Artinya, Bulog perlu 630.000 ton beras. 

"Kalau mengandalkan penyerapan/pengadaan dari dalam negeri mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada saat harga tinggi," kata Khudori. 

Bapanas memang telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di petani jadi Rp 5.000/kg dan beras di gudang Bulog Rp 9.950/kg. Tapi harga gabah dan beras di pasar masih lebih tinggi dari HPP. 

Lebih lanjut, Bapanas dan Kemenko Perekonomian telah mengumpulkan puluhan penggilingan besar dan menengah untuk membantu memperbesar serapan beras Bulog. Mereka diminta berkomitmen untuk membantu Bulog. Tapi komitmen yang mampu diikat tidak besar, hanya 60.000 ton. 

"Cara-cara ini selain tak banyak membantu, boleh jadi juga tidak ramah pasar. Pemerintah mesti membuang jauh cara-cara tak ramah pasar," ungkap Khudori. 

Khudori juga mengamati pengadaan dengan mekanisme komersial. Menurutnya hal ini bisa untuk memenuhi CBP namun jika cara ini ditempuh, Khudori khawatir harga beras akan semakin tinggi di pasaran. 

Baca Juga: Diam-diam Impor Beras Saat Musim Panen Raya

Lebih lanjut menurut Khudori salah satu yang menjadi akar masalah yaitu produktivitas padi yang terus menurun. 

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2018 surplus beras juga terus turun dari 4,7 juta ton pada 2018 hanya tinggal 1,34 juta ton pada 2022. 

"Ketika jumlah surplus kian mengecil, soal pengelolaan cadangan dan distribusi jadi isu krusial. Ketika salah perhitungan, dampaknya bisa amat fatal," ungkap Khudori. 

Ke depan, kata Khidori, perlu ada upaya-upaya yang serius untuk menggenjot produksi dan produktivitas. Menurutnya, tahun ini, tantangan produksi diperkirakan jauh lebih sulit ketimbang tahun lalu yang masih mengalami La-Nina. 

"Tahun ini, mulai April akan terjadi El-Nino, yang jika merujuk pengalaman biasanya produksi turun," pungkas Khudori. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi