Pemerintah Akan Lihat Lagi Penerbitan Surat Utang



JAKARTA. Pemerintah harus memastikan dulu realisasi penyerapan anggaran sebelum mengeluarkan surat utang. Jika hal tersebut tidak dilakukan pemerintah akan mendapat tekanan ganda. Di satu sisi belum ada kepastian kegunaan pembelanjaan utang sehingga memperketat likuiditas, kedua biaya utang akan sangat tinggi akibat tingginya suku bunga dalam negeri maupun internasional.

Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) Bambang Prijambodo mengatakan, jika kebijakan pembelanjaan anggaran terutama untuk pembangunan dan biaya modal berjalan baik, maka ketatnya likuiditas saat ini tidak akan menjadi masalah. "Suku bunga  jangan disalahkan, harus dilihat spending policy-nya dan efektifitas dari belanja," kata Bambang di Jakarta, Kamis (11/9).

Kalau pemerintah tidak yakin anggaran bakal terserap, Bambang menyarankan, maka sebaiknya pengeluaran surat utang dikaji lagi. Jika spending policy tidak begitu kuat, maka pemerintah hanya merencanakan pembiayaan yang belum tentu akan berjalan. "Sebetulnya inti dari pembiayaan defisit sangat ditentukan oleh kebijakan belanjanya. Jadi kalau belanja kira-kira mengalami perubahan atau berkurang, kebijakan menutup defisitnya juga harus dipertimbangkan secara cermat," katanya.


Bambang memberikan contoh proyek pembangunan jalan. Menurutnya, kalau pengerjaan proyeknya belum pasti maka pemerintah janganlah berutang dahulu karena tidak akan ada gunanya. Pemerintah harus memastikan berapa jumlah defisit yang bisa terserap dalam kondisi semacam ini. Jangan sampai kebijakan utang berjalan sendiri tanpa memahami permasalahan di penyerapannya. "Dipastikan dulu penyerapannya, baru dirancang lagi pengeluaran surat utang. Kemudian pengeluaran bond dilihat lagi jangan sampai kita menghutang tapi tidak terpakai bahkan beban biaya relatif tinggi," katanya.

Utang atau pembiayaan apapun harus mampu meningkatkan kemampuan membayar. Jika utang tidak bisa dipakai dalam kegiatan pembangunan yang produktif, atau meningkatkan kemampuan membayar, maka utang baik dalam maupun luar negeri tidak ada artinya bahkan akan memberatkan.

Kebijakan pembelanjaan yang lemah, menurut Bambang, merupakan masalah klasik yang terus terjadi tiap tahun. Akibatnya penyerapan paling besar selalu terjadi di akhir tahun. Hal itu menjadi tantangan pemerintah untuk menyelesaikannya, diantaranya dengan memberi guide line yang kuat bagi daerah agar anggaran yang ada dapat segera direalisasikan.

Bambang mengakui, bahwa rendahnya penyerapan anggaran akan menyebabkan ketatnya likuiditas. Hal itu terjadi karena  manfaat yang seharusnya diperoleh masyarakat dengan pembangunan jadi tertunda, sehingga pertumbuhan tidak bisa dinikmati di awal tahun. Penyerapan yang terkonsentrasi pada triwulan terakhir juga akan membuat likuiditas tidak berjalan dengan merata. "Itu tidak disebabkan oleh kebijakan moneter," katanya.Perubahan APBN yang terlalu cepat bisa dikatakan menjadi penyebab mundurnya realisasi penyerapan anggaran. Jika APBN berubah, mau tidak mau akan ada perubahan jadwal pelaksanaan proyek juga.

Direktur Surat Berharga Negara Depertemen Keuangan Bhimantara Widyajala mengatakan pihaknya akan terus memantau perkembangan yang terjadi di pasar keuangan. Termasuk meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait, seperti Ditjen Perbendaharaan Depkeu khususnya Direktorat Pengelolaan Kas Negara untuk mengetahui perkembangan penyerapan APBN.

"Perlu dipahami bahwa angka penerbitan bersih sebesar Rp 117,0 triliun di APBN merupakan batas maksimal. Sehingga tidak tertutup kemungkinan realisasi penerbitan surat berharga negara berada di bawah angka tersebut," kata Bhimantara, Kamis (11/9). Besarnya penerbitan tergantung perkembangan yang terjadi. Prinsipnya pemerintah akan berupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan seoptimal mungkin sesuai realisasi APBN Perubahan 2008.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test