JAKARTA. Pemerintah akan mengoptimalkan pasar dalam negeri untuk mengantisipasi trend penurunan harga Crude Palm Oil (CPO) internasional. Salah satu yang akan ditempuh pemerintah adalah meningkatkan alokasi penggunaan CPO untuk bahan bakar nabati biofuel dan menurunkan pungutan ekspor untuk CPO dari 15% menjadi 10%. Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi mengatakan rata-rata harga CPO kini sudah mencapai US$ 850 per ton. Pungutan ekspor yang diberlakukan pemerintah saat ini fluktuatif mengikuti harga CPO internasional, sehingga pemerintah akan mengkaji apakah perlu mengubah kebijakan tersebut. "Pemerintah berharap para pelaku usaha ikut membantu petani. Ketika harga naik kemarin mereka tidak serta merta menaikkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, sehingga petani lebih lama menikmati kenaikan harga. Nah, sekarang kami berharap mereka juga tidak serta merta membebankan penurunan harga ke TBS," ujar Bayu di Jakarta, Kamis (21/8). Walaupun penurunan harga CPO masih belum fundamental, tapi penurunan harga sekarang adalah satu hal yang cukup serius dampaknya pada industri CPO, dan penerimaan pajak. Apalagi saat ini Indonesia adalah eksportir CPO terbesar di dunia. Menurut Bayu penurunan yang terjadi sekarang ini merupakan koreksi atas kenaikan harga CPO di bulan Maret dan April yang sangat tinggi ,sampai menembus US$ 1.200 per metrik ton. "Mudah-mudahan sebentar lagi akan rebound mungkin di kisaran US$ 900 -$1.000 per ton," tambah Bayu. Walau diprediksi akan mengalami penguatan harga kembali, dalam jangka panjang pemerintah mempunyai tantangan mencari pasar CPO. Terlebih kalau mengingat keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi. Diperkirakan pada 2009-2010 produksi CPO bisa menembus 20 juta ton, sehingga ekspor akan mencapai 15 juta ton. Kalau saja peningkatan produksi tidak diimbangi dengan penambahan permintaan maka dikhawatirkan harga akan anjlok. "Indonesia akan menyiapkan kebijakan yang saat ini sedang digodok. Kebijakannya adalah memperbesar demand baru untuk biofuel dari CPO. Minimum akan ada pasar baru sekitar 1 juta ton," tambah Bayu. Sesuai dengan amanat Inpres No 5/2008 tentang Fokus Pembangunan Ekonomi 2008-2009 tentang penggunaan BBN di dalam negeri, maka bahan baku yang paling siap untuk BBN adalah CPO. Jika harga CPO rata-rata sebesar US$ 900-1.000, diharapkan cukup memberi insentif untuk industri BBN dan CPO untuk bisa berkembang. Nantinya, kewajiban penggunaan CPO untuk BBN akan dilakukan untuk dua belah pihak, yaitu kepada pengguna BBM dan kepada pemasar dan tata niaga BBM. "Jadi nanti ada persen tertentu yang mungkin belum terlalu besar sebagai starter, sekitar 1,3 juta ton. Sebesar 1 juta dari CPO, 300.000-nya dari bahan baku lain. Kami harap bisa berlaku tahun ini, tapi untuk persennya masih di bahas," katanya. Sementara itu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu masih optimis penurunan harga CPO akan diimbangi dengan peningkatan volume penjualan. "Kalau volume kan bisa meningkat jika permintaan dari pasar masih cukup kuat, jadi biasanya akan terimbangi dengan peningkatan volume," tutur Marie.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pemerintah akan Menciptakan Pasar buat CPO
JAKARTA. Pemerintah akan mengoptimalkan pasar dalam negeri untuk mengantisipasi trend penurunan harga Crude Palm Oil (CPO) internasional. Salah satu yang akan ditempuh pemerintah adalah meningkatkan alokasi penggunaan CPO untuk bahan bakar nabati biofuel dan menurunkan pungutan ekspor untuk CPO dari 15% menjadi 10%. Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi mengatakan rata-rata harga CPO kini sudah mencapai US$ 850 per ton. Pungutan ekspor yang diberlakukan pemerintah saat ini fluktuatif mengikuti harga CPO internasional, sehingga pemerintah akan mengkaji apakah perlu mengubah kebijakan tersebut. "Pemerintah berharap para pelaku usaha ikut membantu petani. Ketika harga naik kemarin mereka tidak serta merta menaikkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, sehingga petani lebih lama menikmati kenaikan harga. Nah, sekarang kami berharap mereka juga tidak serta merta membebankan penurunan harga ke TBS," ujar Bayu di Jakarta, Kamis (21/8). Walaupun penurunan harga CPO masih belum fundamental, tapi penurunan harga sekarang adalah satu hal yang cukup serius dampaknya pada industri CPO, dan penerimaan pajak. Apalagi saat ini Indonesia adalah eksportir CPO terbesar di dunia. Menurut Bayu penurunan yang terjadi sekarang ini merupakan koreksi atas kenaikan harga CPO di bulan Maret dan April yang sangat tinggi ,sampai menembus US$ 1.200 per metrik ton. "Mudah-mudahan sebentar lagi akan rebound mungkin di kisaran US$ 900 -$1.000 per ton," tambah Bayu. Walau diprediksi akan mengalami penguatan harga kembali, dalam jangka panjang pemerintah mempunyai tantangan mencari pasar CPO. Terlebih kalau mengingat keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi. Diperkirakan pada 2009-2010 produksi CPO bisa menembus 20 juta ton, sehingga ekspor akan mencapai 15 juta ton. Kalau saja peningkatan produksi tidak diimbangi dengan penambahan permintaan maka dikhawatirkan harga akan anjlok. "Indonesia akan menyiapkan kebijakan yang saat ini sedang digodok. Kebijakannya adalah memperbesar demand baru untuk biofuel dari CPO. Minimum akan ada pasar baru sekitar 1 juta ton," tambah Bayu. Sesuai dengan amanat Inpres No 5/2008 tentang Fokus Pembangunan Ekonomi 2008-2009 tentang penggunaan BBN di dalam negeri, maka bahan baku yang paling siap untuk BBN adalah CPO. Jika harga CPO rata-rata sebesar US$ 900-1.000, diharapkan cukup memberi insentif untuk industri BBN dan CPO untuk bisa berkembang. Nantinya, kewajiban penggunaan CPO untuk BBN akan dilakukan untuk dua belah pihak, yaitu kepada pengguna BBM dan kepada pemasar dan tata niaga BBM. "Jadi nanti ada persen tertentu yang mungkin belum terlalu besar sebagai starter, sekitar 1,3 juta ton. Sebesar 1 juta dari CPO, 300.000-nya dari bahan baku lain. Kami harap bisa berlaku tahun ini, tapi untuk persennya masih di bahas," katanya. Sementara itu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu masih optimis penurunan harga CPO akan diimbangi dengan peningkatan volume penjualan. "Kalau volume kan bisa meningkat jika permintaan dari pasar masih cukup kuat, jadi biasanya akan terimbangi dengan peningkatan volume," tutur Marie.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News