KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pelaku usaha tekstil dan produk tekstil (TPT) menanggapi rencana pemerintah yang hendak memberi kemudahan pembayaran utang atau restrukturisasi untuk sektor industri. Sebagai informasi, rencana tersebut dikemukakan Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dalam konferensi pers Capaian Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III-2022, Senin (7/11). Airlangga menilai, beberapa sektor industri masih rentan mengalami perlambatan kinerja hingga terancam harus melakukan PHK kepada karyawannya, seiring ketidakpastian ekonomi global. Untuk itu, pemerintah akan meninjau kembali secara lebih mendalam tiap sektor yang tengah dilanda masalah. Salah satu bantuan yang hendak disiapkan pemerintah adalah melalui restrukturisasi kredit yang berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno menilai, kebijakan yang direncanakan oleh pemerintah sangatlah baik bagi para pelaku usaha. Terlebih lagi, beberapa perusahaan di Indonesia memiliki kendala terkait kewajiban kepada lembaga keuangan atau perbankan. “Kebijakan ini akan memberikan efek berupa memperlambat atau menunda terjadinya PHK,” kata dia, Selasa (8/11).
Baca Juga: Kurangi Dampak Resesi pada Pekerja, Pengusaha Minta Kebijakan Flexible Working Time Ia menyebut, sektor industri yang paling membutuhkan kemudahan restrukturisasi utang adalah industri yang bersifat padat karya. Sebab, industri seperti ini menyerap banyak tenaga kerja dan di sisi lain rentan terjadi PHK ketika kinerja bisnisnya terganggu. Salah satu industri padat karya adalah tekstil dan produk tekstil (TPT). Dalam catatan KONTAN, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pernah menyebut bahwa terdapat 45.000 karyawan di industri TPT yang terkena PHK sejak pandemi Covid-19. Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengaku belum ada pekerja di sektor hulu TPT yang di-PHK. Namun, ada sekitar 1.000—1.500 karyawan di industri hulu TPT yang terpaksa dirumahkan untuk sementara waktu akibat efek domino masalah di sektor hilir TPT. Redma Gita Wirawasta, Ketua APSyFI mengatakan, rencana pemberian kemudahan pembayaran utang merupakan kebijakan yang cukup positif dari pemerintah. Kebijakan ini dapat menjadi solusi jangka menengah untuk membantu pencegahan kejatuhan industri TPT yang lebih dalam. “Namun, ini tidak cukup untuk mencegah terjadinya PHK yang kian hari terus bertambah,” ujar dia, Selasa (8/11). Ia menambahkan, permasalahan industri TPT saat ini adalah minimnya permintaan produk tekstil dari pasar ekspor sedangkan di sisi lain pasar domestik masih dibanjiri produk-produk tekstil impor. Padahal, apabila pasar domestik bisa diisi penuh oleh produk TPT lokal tanpa campur tangan impor, maka hal ini diyakini dapat mencegah terjadinya PHK. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor TPT meningkat 4,21% year on year (yoy) di periode Januari-Agustus 2022 menjadi 1,50 juta ton. Apabila dirinci, impor benang melesat 20,16% (yoy) menjadi 222.730 ton selama Januari-Agustus 2022. Kemudian, impor kain tumbuh 9,15% (yoy) menjadi 589.690 ton. Impor serat naik 1,74% (yoy) menjadi 567.100 ton. Sebaliknya, impor pakaian jadi turun 54,50% (yoy) menjadi 22.670 ton pada Januari-Agustus 2022, sedangkan impor produk tekstil lainnya turun 8,01% (yoy) menjadi 99.690 ton.
Redma menilai, sebenarnya pada kuartal I dan II tahun ini, impor TPT masih sangat minim lantaran tingginya freight rate dan tidak adanya penerbitan Persetujuan Impor (PI) untuk Angka Pengenalan Impor Umum (API-U). Alhasil, pelaku industri TPT lokal sangat bisa menyuplai berbagai produk, termasuk benang dan kain. “Namun dengan diterbitkannya PI untuk API-U, makanya pedagang tekstil mulai ikut bermain lagi dan membanjiri pasar domestik dengan barang impor,” kata dia.
Baca Juga: Kemenaker Minta Isu Resesi Tidak Dimanfaatkan untuk Lakukan PHK Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat