KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah mengevaluasi aturan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) untuk barang berbahan baku pelat baja atau
hot rolled plate (HRP). Pengenaan BMAD tersebut dinilai menghambat daya saing produksi galangan kapal
(shipyard) nasional, khususnya di Batam, Kepulauan Riau. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, HRP sebagai bahan baku pembuatan
shipyard memang merupakan salah satu barang yang terkena BMAD. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2016 tentang Pengenaan BMAD terhadap Impor Produk Hot Rolled Plate dari Negara Republik Rakyat Tiongkok, Singapura, dan Ukraina.
Namun, Darmin bilang, yang menjadi keluhan para pengusaha galangan kapal di Batam ialah aturan yang juga mengenakan BMAD terhadap barang produksi berbahan baku HRP yang keluar dari wilayah kepabeanan Batam. "Jadi kami mencari jalan keluar karena ternyata setelah dibuat menjadi galangan kapal, juga kena bayar bea masuk antidumping," ujar Darmin usai menggelar rapat koordinasi dengan beberapa kementerian terkait seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan terkait persoalan tersebut di kantornya, Selasa (5/3) malam. Lebih rinci Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menerangkan, aturan tentang pengenaan pajak terhadap barang yang diproduksi menggunakan bahan baku HRP tertuang dalam PMK Nomor 120 Tahun 2017. Pasal 61 ayat 5 pada beleid tersebut berbunyi pengeluaran barang hasil produksi kawasan bebas dengan menggunakan bahan baku yang diberi perlakuan (BMAD) dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean dipungut bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan berdasarkan tarif yang berlaku pada saat pemasukan bahan baku ke Kawasan Bebas. "Akibat HRP dikenakan BMAD,
shipyard yang dikeluarkan dari wilayah kepabeanan Batam itu jadi kena BMAD juga. Padahal, bentuk barangnya sudah diubah, diolah, bukan lagi HRP," ujar Oke, Selasa (5/3). Evaluasi pemerintah ini rencananya akan diikuti dengan merevisi PMK tersebut. Dengan begitu, produk
shipyard nasional yang diproduksi di Batam bisa memiliki daya saing lebih tinggi di antara produk galangan kapal dari luar negeri. Sebab, selama ini produk galangan kapal dari Batam menjadi tidak bersaing dibandingkan produk milik China atau negara ASEAN lainnya lantaran dikenakan bea masuk nol. Sementara, kapal yang diproduksi di Batam justru terkena bea masuk saat dijual di Indonesia, kata Oke.
"Pengusaha kapal di Batam, dengan pembangunan infrastruktur di dalam negeri, mengaku tidak bisa ikut mengenyam 'kue' yang ada. Sehingga mereka kalau membuat kapal di Batam, mesti ekspor dulu ke Singapura, lalu dikirim kembali ke Indonesia supaya kena bea masuk nol," lanjutnya. Terkait rencana revisi PMK tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum memberi gambaran pasti seperti apa perubahan yang akan dilakukan terhadap beleid tersebut. Namun, ia mengatakan akan mendukung upaya perbaikan iklim investasi, di antaranya dengan mengkaji dampak BMAD terhadap industri di dalam negeri. "Sehingga beban mereka (industri), apakah dalam bentuk perpajakan, bea masuk, maupun PPN, tetap bisa diringankan. Ini karena tema besar dari Presiden kan investasi dan ekspor, jadi daya saing kita itu yang sekarang sedang sangat difokuskan," tandas dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati