KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas hasil pertambangan. Rencana ini tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Bila tak ada aral melintang beleid tersebut akan segera dibahas di tahun ini. Sebab telah ditetapkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2021. Lebih lanjut rancangan beleid tersebut telah menghapus hasil pertambangan sebagai objok non-barang kena pajak (BKP) sebagaimana Pasal 4A ayat 3 butir g UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Jasa Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Adapun hasil pertambangan yang dimaksud antara lain, pertama minyak mentah atau crude oil. Kedua, gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Ketiga, panas bumi. Kempat asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
Baca Juga: Pastikan pungut PPN sekolah, simak penjelasan Kemenkeu Kelima batubara sebelum diproses menjadi briket batubara. Keenam, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit. Namun demikian untuk batubara, pemerintah sebelumnya sudah membanderol PPN sebesar 10% atas kebijakan yang berlaku saat ini pasca UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diundangkan pada akhir tahun lalu. Sejalan dengan usulan perluasan basis pajak tersebut, pemerintah juga mengusulkan untuk meningkatkan tarif PPN dari 10% menjad 12%. Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan memang tidak menutup kemungkinan barang hasil pertambangan lainnya akan menyusul batubara yang sudah lebih dahulu kena pajak atas konsumen. Hanya saja butuh waktu untuk pembahasan dengan parlemen mendatang. “Terkait dengan tarif tentu saya tidak bisa mendahului sebab masih ada pembahasan yang harus sama sama kami ikuti. Nantinya bagaimana pembahasan sebab tidak elok jika saya sampaikan sesuatu yang belum pasti,” kata Neilmaldrin saat Media Briefing, Senin (14/6). Neilmaldrin menjelaskan saat ini PPN yang baru terkumpul di Indonesia yakni baru mencapai 60% dari potensi aktivitas ekonomi. Jauh dibandingkan negara lain misalnya rerata negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sudah berkisar 80%. Penyebabnya, terlalu banyak fasilitas pengecualian PPN yang telah pemerintah berikan hingga saat ini. Sementara aktivitas dan pertumbuhan ekonomi dewasa ini terus mengalami pemulihan. Alhasil, Neilmaldrin bilang pihaknya akan mencoba memperbaiki dari sisi administrasi hingga regulasi. Dengan masuknya barang pertambangan dalam barang kena PPN, harapannya penerimaan pajak ke depan bisa melonjak. Pemerintah menargetkan penerimaan negara di tahun 2022 sebesar Rp 1.823,5 triliun hingga Rp 1.895,9 triliun, atau naik 4,57%-8,73% dari proyeksi tahun ini sebesar Rp 1.743,65 triliun. Angka tersebut setara dengan 10,18% sampai dengan 10,44% terhadap produk domestik bruto (PDB) 2022.
Baca Juga: Bersiaplah, daging wagyu bakal kena PPN, tarifnya bisa sampai 12% Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan rencana kebijakan tersebut dikhawatirkan malah menjadi beban bagi perekonomian dalam negeri. Apalagi kalau kebijakan itu diterapkan dalam waktu dekat seperti tahun depan. “Kami harap pemerintah lebih fokus pada penguatan pengendalian pandemi di masyarakat dan fokus mendistribusikan stimulus-stimulus yang sudah dianggarkan. Akan jauh lebih baik bila stimulus-stimulus yang bersifat konsumtif dikonversikan,” ujar Shinta. Menurutnya, penanganan pandemi berhasil dikendalikan oleh pemerintah, dan terbukti menggeliatkan perekonomian, dengan sendirinya penerimaan negara yang berasal dari pajak akan ikut tumbuh. Sehingga mampu menopang APBN agar bisa mencapai defisit kembali di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) di tahun 2023.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi