Pemerintah Akan Tinjau Aturan DNI Farmasi



JAKARTA- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Pemerintah Indonesia siap untuk melonggarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) pada sektor industri farmasi. Hal tersebut ia sampaikan terkait banyaknya keluhan yang disampaikan calon investor asing. "Aturannya bisa saja diubah. Kita bisa negosiasi soal itu dan kami siap untuk itu," ujar Kalla saat menerima Dewan Bisnis AS-ASEAN yang diketuai  oleh William Warmon di Istana Wapres, Selasa (21/10). Dalam acara tersebut turut hadir Duta Besar Amerika Serikat Cameron F. Hume, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi. Dan pimpinan perusahaan dari berbagai sektor industri di kawasan Asean dan AS, seperti pimpinan Conoco Philips, Chevron, Exxon, GE, Coca Cola, serta Monsanto. Sebelumnya, William Warmon menyampaikan bahwa sejumlah investor dari Amerika Serikat berharap Pemerintah Indonesia memperlebar investasi asing untuk sektor farmasi dan rumah sakit agar terdapat kompetisi dalam hal pengadaan obat-obatan dan pelayanan rumah sakit di Indonesia terutama menghadapi pasar terbuka nanti. Sedangkan Kepala Badan Koordniasi Penanaman Modal M. Luthfi juga mengakui bahwa banyak pengusaha AS yang meminta DNI di bidang farmasi dan kesehatan di tinjau ulang. Menurut dia, hal tersebut dapat menyebabkan inefisiensi di sektor industri farmasi dan rumah sakit di Indonesia serta membuat orang Indonesia lebih banyak berobat ke luar negeri, dengan dana yang ditaksir tak kurang dari US$ 4 miliar per tahun. "DNI yang 77 dan 111 ini memang mendapat sorotan. Ada beberapa hal yang sangat fundamental yang ditanyakan oleh investor Amerika Serikat terutama di sektor kesehatan, tapi yang sangat ditanyakan adalah bidang farmasi," ujar LutfiLutfi juga berjanji akan menemui Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari untuk menindaklanjuti hal ini. Menurutnya, diperlukan satu kesepakatan bersama terhadap keberadaan industri farmasi agar industri farmasi Indonesia lebih kompetitif. "situasi industri farmasi dan kesehatan saat ini, menyebabkan industri kita tidak efisien dan kalah bersaing," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: