KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sedang berencana melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam
draft dokumen perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diterima Kontan.co.id, terlihat bawah pemerintah berniat mengerek tarif PPN menjadi 12%. Dalam revisi UU tersebut, pemerintah juga berniat mengenakan PPN multi tarif. Selain mengubah tarif PPN, ada enam reformasi perpajakan lainnya, yang berkaitan dengan UU KUP, UU Pengampunan Pajak, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hingga UU Pajak Penghasilan (PPh).
Beberapa reformasi pajak yang dilakukan adalah pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) multi tarif, menjalankan program pengampunan pajak atau
tax amnesty, menambah layer penghasilan kena pajak beserta tarifnya dan pengenaan pajak karbon. Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, poin-poin dalam perubahan revisi UU tersebut lebih baik dilakukan pada tahun 2022. Alasannya, karena agenda perubahan PPN multi tarif harus dimaknai sebagai satu paket yang komprehensif dan tidak dilihat secara parsial. “Semisal, adanya skema multi tarif pada dasarnya adalah jalan tengah antara skenario kenaikan tarif PPN yang mana masih berada di bawah rata-rata global dengan upaya menjamin keberpihakan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan bawah,” jelas dia kepada Kontan.co.id, Jum’at (4/6).
Baca Juga: Mohon perhatian! Tarif PPN diusulkan naik menjadi 12% Selain itu, agenda perubahan menjalankan program pengampunan pajak atau
tax amnesty, dapat menyempurnakan kebijakan yang sebelumnya sudah dilakukan. Bawono mencontohkan, penurunan tarif PPh Badan sudah dilakukan sehingga nantinya akan menjadi 20% di 2022. Di sisi lain, diperlukan adanya kontribusi minimum dari perusahaan yang selama ini melakukan
tax planning dengan skema kerugian selama bertahun-tahun. Lalu, terkait penambahan layer penghasilan kena pajak beserta tarifnya, sudah sesuai dengan proyeksi yang akan terjadi di 2022. Diantaranya, proyeksi ekonomi yang lebih positif di tahun mendatang merupakan timing yang lebih tepat untuk pelaksanaan reformasi pajak secara komprehensif. Dengan demikian, akan ada keselarasan dan jeda yang tidak terlalu lama antara
economic recovery dengan
tax revenue recovery.
Di sisi pengenaan pajak karbon bisa menjamin
fiscal burden yang lebih adil dan baik jika dijalankan scr bersamaan. Sebagai contoh, adanya penyesuaian atas tarif tertinggi PPh serta adanya tarif PPN yang bersifat khusus untuk barang mewah. Dari pemaparan tersebut Bawono menyampaikan, upaya perubahan UU KUP ini dapat melakukan terobosan seperti persiapan optimalisasi penerimaan negara di masa pemulihan seperti pengelolaan risiko fiskal dalam jangka menengah. “Terobosan tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk reformasi pajak yang berorientasi tidak semata-mata untuk penerimaan jangka pendek, tapi juga menjamin sistem pajak yang berkepastian, adil, mampu mengikuti dinamika model bisnis dan lanskap pajak global, serta memperkuat ketersediaan dana pembangunan,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari