Pemerintah Berharap RUKN dan RUPTL Rampung Bulan Depan



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) bisa segera dirampungkan bulan depan sebelum Indonesia berpartisipasi dalam Conference of the Parties 28 (COP-28) di Dubai, Uni Emirat Arab pada 30 November-12 Desember 2023. 

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P Hutajulu menyatakan, hingga saat ini revisi RUPTL masih dalam proses. Posisi saat ini, pemerintah akan menyetujui Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) terlebih dahulu, baru kemudian RUPTL mengikuti. 

RUKN adalah rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional. Sesuai regulasi, RUKN dapat dievaluasi setiap tahun dan dimutakhirkan setiap 5 tahun.


Jisman menjelaskan, RUKN memiliki perencanaan yang lebih panjang dibandingkan RUPTL. Nantinya RUKN akan mengakomodasi target Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060. 

Baca Juga: Pemerintah Terus Gencar Konversi Motor Listrik, Kini Instansi Dapat Subsidi

“Kita punya hampir 60 wilayah usaha tetapi PLN terbesar, maka yang di luar itu akan mengikuti arah kebijakan. Utamanya net zero emission bagaimana mengurangi peran PLTU. Ini yang lagi kami godok sekarang,” ujarnya di Kementerian ESDM, Senin (16/10). 

Melalui pengurangan peran PLTU di dalam sistem kelistrikan Indonesia, posisi energi terbarukan otomatis meningkat untuk mengompensasi penurunan pasokan listrik dan pemenuhan peningkatan permintaan energi ke depannya. Namun, pengalihan aliran setrum fosil tidak bisa begitu saja diubah ke energi terbarukan. 

Di dalam RUPTL anyar yang masih dalam proses ini, pembangkit bertenaga gas akan diandalkan sebagai jembatan transisi. 

“Jadi ada transisinya kalau PLTU dikurangi, ada growth (permintaan energi) nih. Nah ini diisi harus dengan EBT, tetapi memang ada transisi melalui gas. Jenis EBT apa saja yang mau diisi untuk sampai 2060 itu penting,” jelasnya. 

Jisman menyatakan, diharapkan RUPTL bisa segera rampung sebelum COP 28 supaya pemerintah mendapatkan  bayangan lebih jelas untuk mendeklarasikan energi terbarukan yang akan dikembangkan Indonesia di era transisi energi. 

“Paling tidak ada bayangan, kalau harus jadi sih (RUPTL) tergantung. Yang penting ada diskusi yang sudah mengarah ke sana, declare apa di sana (pada COP 28),” imbuhnya. 

Selain soal pembangkit EBT, Jisman menyatakan, hal penting lain yang akan disoroti ialah pembangunan Super Grid atau jaringan listrik yang menyambung pulau-pulau di Tanah Air. Melalui infrastruktur listrik yang memadai, energi bersih yang dihasilkan dapat terdistribusi merata dan dimanfaatkan secara optimal di Indonesia. 

Direktur Manajemen RIsiko PT PLN, Suroso Isnandar menjelaskan, penyusunan RUPTL berorientasi pada keamanan pasokan energi. Pada 2019 RUPTL PLN masih didominasi pembangkit fosil. Namun, pada RUPTL 2021-2030 sampai 2040, PLN membuat manuver baru dengan meningkatkan penambahan pembangkit EBT besar-besaran. 

“Kami buat RUPTL paling hijau 2021-2030 sampai 2040 dalam skenario akselarasi transisi energi, akan ada penambahan 62 GW EBT atau 62.000 MW yang kurang lebih bisa melistriki 80 juta rumah,” jelasnya dalam acara Tripatra Sustainable Engineering Summit di Jakarta, Jumat (13/10). 

Dalam menekan emisi, langkah nyata yang dilakukan PLN ialah moratorium rencana pembangunan 13,3 GW PLTU, kemudian pembatalan Perjanjian Jual Beli Listrik atau Power Purchase Aggreement (PPA) secara legal sebesar 1,1 GW, dan mengkonversi 800 MW PLTU menjadi pembangkit gas. 

Baca Juga: Kementerian ESDM: Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Melampaui Target

Suroso mengemukakan, salah satu tantangan yang dihadapi dalam transisi energi ialah, meyakinkan keamanan pasokan listrik terjaga. Dia menjelaskan lebih lanjut, pada dasarnya ada tiga peran pembangkit, yakni sebagai baseloader, load follower, dan peaker. 

Sebagai baseloader ialah pembangkit yang secara ajeg harus menyiapkan listrik pada batas minimum listrik yang ada. Kemudian pembangkit load follower ialah fasilitas yang dapat memproduksi setrum mengikuti langkah beban listrik. Lantas, peaker ialah pembangkit yang dapat memenuhi kebutuhan beban puncak baik itu siang dan malam. 

“Sehingga ada tiga macam pembangkit harus selalu dijaga supaya pemenuhan listrik bisa terjaga,” ujarnya. 

Sementara, energi terbarukan seperti PLTS saat ini teknologinya masih bersifat intermiten. Sehingga tantangan teknis yang dihadapi PLN dalam masa transisi energi ialah mengkonversi dan memanfaatkan energi terbarukan untuk menggantikan baseloader yang kapasitasnya sangat besar. 

“Tantangan lain terkait finansial dan bagaimana membangun ekosistem pengembangan EBT,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .