Pelaksanaan kewajiban sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk mainan anak mulai berlaku awal Mei ini. Peraturan ini akan melarang peredaran produk mainan impor maupun lokal yang tidak bersertifikasi SNI di pasar Indonesia ini. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, wajib sertifikasi SNI mainan anak tetap akan berlaku per 1 Mei 2014. Namun, waktu pelaksanaan wajib sertifikasi SNI ini mengundang pro dan kontra di kalangan pelaku industri. Asosiasi Importir dan Distributor Mainan Indonesia (AIMI) meminta pemerintah untuk menunda kebijakan wajib SNI mainan sampai akhir tahun ini. Pasalnya, infrastruktur untuk SNI masih belum mumpuni, terutama yang terkait dengan jumlah dan kapasitas laboratorium pengujian. Sandi Vidhianto, Sekretaris Jenderal AIMI, mengatakan, produsen dan distributor mainan impor membutuhkan waktu untuk memenuhi persyaratan dalam pengajuan sertifikasi SNI. Di sisi lain, pesanan dari ritel sudah mulai berkurang lantaran mereka takut memajang barang yang tidak ber-SNI. "Penurunannya cukup signifikan, sekarang ini penurunan order mencapai 25%," ujar Sandi, kepada KONTAN.
Sebaliknya, Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI) menolak usulan penundaan pemberlakuan aturan ini. Sebab, asosiasi ini sudah melakukan persiapan SNI mainan setahun yang lalu. Beberapa upaya yang telah dilakukan asosiasi supaya memenuhi standar adalah menggunakan water base untuk pewarnaan mainan. Lalu, memperbaiki model. Misalnya mengganti roda besi dengan kayu. "Jadi tidak perlu ada penundaan," ujar Danang Sasongko, Ketua APMETI. Tapi, untuk tahap awal pelaksanaan peraturan ini, pemerintah memang belum akan langsung menarik produk mainan yang belum memiliki sertifikasi SNI di pasaran Indonesia. Ramon Bangun, Direktur Industri Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian, mengatakan, masih akan ada kelonggaran bagi produsen mainan anak selama enam bulan pertama untuk mendaftarkan produk mereka. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi dan bimbingan terhadap para produsen termasuk usaha kecil dan menengah (UKM). "Setelah enam bulan, jika belum ada sertifikasi SNI, produk bisa tetap diproduksi tetapi tidak boleh dijual ke pasar," kata Ramon. Agar tetap bisa memasarkan produknya, produsen dan importir mainan anak meminta kepada pemerintah untuk memberikan waktu kepada mereka supaya menghabiskan persediaan produknya di pasar. Thamrin, produsen mainan anak di Jakarta Timur, mengatakan, telah mendaftarkan produknya sejak tiga bulan yang lalu. Sampai sekarang dia telah mengeluarkan dana Rp 16 juta. Hingga kini sertifikat SNI belum dia dapatkan. "Saya masih menunggu uji lab dan harus keluar uang lagi Rp 11 juta. Saya belum ada duit lagi," keluh Thamrin. Direktur Komersial III yang juga pelaksana tugas Direktur Utama Sucofindo, Sufrin Hannan, memperkirakan, pelaku usaha mainan anak lokal akan menyerbu lembaga sertifikasi milik pemerintah karena 50% lebih murah daripada lembaga sertifikasi milik swasta dan BUMN seperti Sucofindo. Dus, Sufrin memperkirakan, balai-balai sertifikasi milik pemerintah akan kebanjiran order. "Makanya kami menyediakan subsidi harga lewat dana CSR agar tidak terjadi penumpukan di balai-balai," kata Sufrin. Lembaga Milik Pemerintah Lebih Murah Agar bisa tetap menjual produk mainan anak di pasaran Indonesia, importir maupun produsen lokal harus mendapatkan sertifikasi wajib SNI. Caranya dengan melakukan pendaftaran produk ke lembaga sertifikasi produk (LS Pro). Ramon Bangun, Direktur industri Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian, mengatakan, ada sekitar delapan atau sembilan LS Pro yang dapat dipilih. Beberapa LS Pro tersebut dimiliki oleh pemerintah, di antaranya adalah Balai Pengujian Mutu Barang milik Kementerian Perdagangan dan Balai Besar Kimia dan Kemasan milik Kementerian Perindustrian. "Punya pemerintah biasanya lebih murah. Sebab, pemerintah punya anggaran tertentu untuk produsen mainan tersebut memproses sertifikasi," ujar Ramon. Langkah pertama yang harus dilakukan produsen adalah memastikan SNI yang diinginkan, apakah SNI produk atau SNI sistem manajemen seperti SNI ISO 9001:2008. Jika SNI ditujukan untuk produk saja, maka langkah selanjutnya adalah mengecek: standar tersebut sudah ada atau belum. Apabila sudah ada, maka langkah selanjutnya adalah mencari lembaga sertifikasi.
Setelah itu, LS Pro akan mengirimkan staf untuk mengambil contoh produk dan melihat proses produksi. Kemudian, produk akan diuji di laboratorium. Tahap berikutnya adalah menguji produk yang sesuai dengan material pembentuknya. "Jika telah memenuhi semua syarat tersebut, LS Pro akan menerbitkan sertifikat SNI kepada setiap model produk," jelas Ramon. n (Selesai) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini