KONTAN.CO.ID - JAKARTA. International Institute for Sustainable Development (IISD) menyebut, sumber pendanaan transisi energi tidak melulu harus mengandalkan hibah, pinjaman lunak, ataupun pinjaman komersial dari luar negeri. Ada sumber duit lain yang bisa dieksplor lebih jauh yakni keuangan public (public finance) yang dikontrol oleh pemerintah. Analis Kebijakan Energi IISD Anissa Suharsono mengatakan, salah satu pendanaan yang akan menjadi katalis transisi energi di Indonesia adalah skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Seperti diketahui, JETP akan memobilisasi dana US$ 20 miliar atau Rp 300 triliun dalam 5 tahun ke depan untuk transisi energi di Indonesia. Namun, menurut Anissa, dana dari JETP tidak cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan transisi energi di Indonesia hingga mencapai nol emisi (net zero emission) pada 2060.
Pasalnya, investasi yang dibutuhkan untuk transisi energi bisa jauh lebih besar dibandingkan yang pernah dipaparkan sebelumnya. Kebutuhan dana yang semakin besar ini sejalan dengan target pemanfaatan energi terbarukan yang lebih agresif. Merujuk pada tujuan implementasi JETP, pemanfaatan energi terbarukan ditargetkan sebesar 34% bersumber dari energi terbarukan pada 2030. Sedangkan pemerintah Indonesia mencanangkan target 23% di 2025. “Maka itu, selain dari JETP, penting sekali mengalihkan sebagian public budget untuk membiayai transisi energi,” ujarnya dalam Expert Panel Yayasan Indonesia Cerah: Mendorong RUPTL Hijau yang Ambisius Setelah Komitmen JETP di Jakarta, Senin (21/8).
Baca Juga: INA Nyatakan Ketertarikan Jajaki Peluang Berkolaborasi dengan JETP Dana publik ini mencakup subsidi, insentif, bantuan, investasi dari BUMN, atau pinjaman-pinjaman lembaga keuangan publik. Menurut Annisa, dana publik ini sangat penting untuk dieksplor dan paling pertama digerakkan karena distribusi keuangannya berada di bawah kendali pemerintah. Salah satu skenario yang bisa dijalankan dalam memobilisasi dana publik ini ialah mengalihkan sebagian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk pengembangan EBT. “Jika pemerintah mau serius, berkomitmen untuk transisi energi, salah satu yang bisa dilakukan ialah mengalihkan subsidi bahan bakar fosil ke energi bersih,” ujarnya. Dalam jangka pendek, lanjutnya, pengalihan subsidi atau insentif ini akan membantu mengurangi risiko investasi energi bersih di Indonesia. Dalam jangka menengah, cara ini membantu untuk secara permanen mengurangi persepsi risiko dan memanfaatkan volume yang lebih besar dari pembiayaan swasta. Berdasarkan data yang dihimpun IISD, sepanjang 2016 hingga 2020 sekitar 94,1% dari total bantuan yang diberikan pemerintah, dialokasikan untuk bahan bakar fosil yakni ke sektor minyak dan gas bumi (migas), batubara, dan kelistrikan. Sementara untuk sektor EBT yang diberikan kurang dari 1%. “Aritnya dukungan pemerintah untuk bahan bakar fosil tetap jauh lebih tinggi dibandingkan EBT,” terang Annisa. Senada, Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna menyatakan, pemerintah memiliki salah satu instrumen yang sebagian dananya bisa dialihkan untuk transisi energi. Misalnya saja, program biodiesel atau pungutan dari pelaku usaha kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atau Badan Layana Usaha (BLU) batubara yang hingga kini masih belum terealisasi. “Contohnya dana BPDPKS atau batubara (BLU) bisa dialihkan sebagian untuk dana transisi energi. Mulai dari angka 2% atau 4% saja, dengan ini kita punya pijakan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Bahaya Subsidi Energi Fosil
Anissa menjelaskan lebih lanjut, subsidi energi yang lebih banyak dialirkankan ke sektor fosil akan berbahaya bagi sejumlah aspek. Pertama, subsidi energi fosil itu adalah sebuah penghalang untuk berkembangnya EBT karena terus mendukung produksi dan konsumsi bahan bakar kotor. Selain itu, besaran subsidi sektor bahan bakar fosil juga menciptakan kondisi tidak adil untuk investasi ke energi bersih. “Banyaknya insentif ini akan memberikan pandangan ke investor kalau berinvestasi di energi fosil jauh lebih mudah, menguntungkan, dan jauh lebih menarik dibandingkan ke energi bersih,” ujarnya.
Sedangkan, selama ini, subsidi energi fosil yang diperuntukkan untuk rumah tangga berpendapatan rendah, justru tidak tepat sasaran. Sebagian besar dana tersebut dinikmati kelompok masyarakat berpendapatan besar. Anissa menjelaskan lebih jauh, untuk mendobrak penghalang yang ada, ada beberapa upaya yang bisa ditempuh. Pertama, meningkatkan transpransi. Meningkatkan akuntabilitas komitmen global untuk mengalihkan dukungan publik dari bahan bakar fosil ke energi bersih.
Baca Juga: Peluncuran Mundur, Perencanaan JETP Diminta Lebih Transparan dan Partisipatif Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat