KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) merilis sejumlah kebijakan demi menarik masuk dana asing ke pasar domestik. Tapi, berbagai strategi itu masih perlu diuji keampuhannya untuk menyehatkan neraca pembayaran Indonesia (NPI), serta menguatkan otot rupiah. BI misalnya, menghidupkan lagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 dan 12 bulan untuk menarik minat investor asing. Sebelumnya, SBI tersebut sudah dihentikan penjualannya sejak Agustus 2017. Pemerintah juga meminta pengusaha menarik pulang simpanan devisa di luar negeri, menggenjot sektor pariwisata, memberi kemudahan ekspor, serta menambah utang valuta asing. "Tambahan yang sudah
in pipeline sekitar US$ 1,3 miliar," kata Luky Alfirman, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Senin (30/7).
Pemerintah juga akan merevisi ketentuan harga batubara untuk wajib pasok pasar lokal atau
domestic market obligation (DMO). Hitungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, perubahan aturan DMO batubara ini bisa mendatangkan devisa US$ 5 miliar per tahun. Usaha menarik dana asing memang harus habis-habisan. Sebab rupiah sedang tertekan hebat oleh keluarnya dana asing jangka pendek (
hot money) dari pasar Indonesia. Di pasar saham, arus keluar dana asing (
capital out flow) mencapai Rp 48,9 triliun sejak awal tahun hingga 30 Juli 2018. Sementara di periode sama tahun lalu, dana asing masuk senilai Rp 6,73 triliun. Meski begitu, Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara menilai, sejauh ini berbagai ramuan formula itu mulai mendatangkan hasil. Dana asing mulai masuk lagi ke pasar surat berharga negara (SBN). Memang, dana asing tercatat
net sell di pasar saham. Artinya, arus keluar dana asing masih dominan ketimbang dana masuk untuk periode awal tahun sampai Juli ini. Toh, "Kalau situasi lebih stabil, portofolio (asing) bisa lebih banyak lagi," kata Mirza, akhir pekan lalu. Meski begitu, sejumlah ekonom menilai berbagai upaya tersebut belum cukup mengimbangi derasnya aliran
capital outflow tahun ini. "Upaya-upaya itu bagus untuk
medium long term, tapi tahun ini NPI akan tetap defisit," kata Juniman, Kepala Ekonom Maybank Indonesia kepada KONTAN, Senin (30/7). Apalagi, tahun ini defisit neraca dagang akan membengkak. Alhasil, transaksi berjalan akan defisit sekitar US$ 25 miliar. Nilai itu naik dari tahun lalu yang senilai US$ 17 miliar. Rupiah lemah Pelebaran defisit transaksi berjalan itu akan membebani NPI dan memicu defisit NPI. Alhasil, situasi ini seperti mengulang posisi NPI tahun 2013 dan 2015 (lihat tabel). Proyeksi Juniman, NPI tahun ini bisa negatif US$ 5 miliar-US$ 7 miliar. Tahun 2017, NPI surplus US$ 12 miliar. Artinya, aliran dollar keluar dari pasar lebih besar daripada yang masuk. Ini akan berakibat dukungan fundamental terhadap rupiah berkurang.
Tekanan terhadap rupiah pun masih berlanjut. Mau tak mau, BI akan terus menggunakan cadangan devisa untuk operasi moneter. "Cadangan devisa tahun ini diperkirakan tinggal US$ 124 miliar-US$ 126 miliar, turun dari US$ 130 miliar pada tahun lalu," kata Juniman.
Project Consultant Asian Development Bank Institute Eric Sugandi memproyeksikan, tahun ini NPI bisa defisit US$ 4,3 miliar, sementara defisit transaksi berjalan sekitar US$ 26 miliar. Kondisi ini berdampak langsung terhadap nilai tukar. "NPI yang defisit menurunkan cadangan devisa, dan menandakan melemahnya daya dukung ekonomi pada rupiah," kata Eric. Nilai tukar rupiah yang saat ini di level Rp 14.400-an diperkirakan sulit menguat dan kembali ke level Rp 13.500. "Akhir tahun, kurs rupiah masih di 14.400," jelas Eric. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia