KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) masih macet. Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyebut pembahasan RUU EBET terkendala sikap pemerintah yang lambat menyediakan materi pembahasan. Salah satu poin yang belum mencapai titik tengah perihal fleksibilitas tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
Mulyanto menilai, sejak awal pemerintah terkesan tidak serius membahas dan menghasilkan regulasi EBET ini. Sehingga target pengesahan RUU EBET yang tadinya ingin dilakukan pada November 2022 hingga kini belum terlaksana.
Ia menjelaskan setidaknya ada tiga penyebab lambatnya pembahasan dan pengesahan RUU EBET ini.
Pertama, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET dari pemerintah yang terlambat masuk. Surpes tanpa dilampiri DIM.
Kedua, dokumen dan bahan yang diminta anggota Panja DPR kepada pihak pemerintah belum lengkap, sehingga menjadi tertunda. "Dan
ketiga, di tahun politik memang fokus dan konsentrasi anggota panja lebih kepada persiapan pemilu," kata Mulyanto, Minggu (29/10).
Baca Juga: DPR RI dan DEN Susun Kebijakan Energi Nasional (KEN) Baru Ia menolak anggapan bahwa lambatnya pembahasan EBET ini karena ada campur tangan pimpinan parpol yang kurang setuju dengan pembahasan ini. Mulyanto merasa selama ini pembahasan tiap-tiap DIM sangat terbuka dan objektif sehingga sulit untuk mengatakan bahwa ada cawe-cawe politik dari ketum parpol.
Mulyanto menambahkan, pembahasan RUU EBET ini memang sudah jauh melewati target waktu yang diharapkan. Selain karena sikap lambat pemerintah, pokok bahasan dalam RUU ini juga cukup banyak, mulai dari penataan energi fosil, energi terbarukan dan energi baru yang akan muncul di kemudian hari.
Namun, DPR dan pemerintah sudah menilai RUU ini satu kesatuan antara pengembangan energi terbarukan dengan energi baru, khususnya nuklir. Karena untuk based load, sulit menggantikan peran PLTU kecuali nuklir, mengingat sifat intermitten pembangkit sumber tenaga surya. "Terkait power wheeling, memang tidak ada dalam DIM pemerintah atau DPR.
Jadi ini tidak kita bahas,” tegasnya.
Mulyanto mengakui, masalah yang masih belum bersepakat adalah soal fleksibilitas Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang diajukan pemerintah. Pihaknya minta soal ini jangan dibuat fleksibel, karena akan membuat ketergantungan kepada impor semakin tinggi.
“Saya minta kandungan lokal tetap harus sesuai dengan regulasi yang ada. Akhirnya saya minta dan sudah disepakati kita membawa soal ini untuk dibahas di tingkat rapat pleno. Kita juga akan mendengar pandangan kementerian perindustrian terkait soal ini," jelas Mulyanto.
Baca Juga: Tuntaskan DIM RUU EBET, Pemerintah dan DPR Akan Bertemu Dalam Waktu Dekat Ia melihat Just Energy Transition Partnership (JETP) ini tidak serius membantu Indonesia. Jaminan pendanaan murah untuk pensiun dini PLTU tidak jelas. Kalau menggunakan dana komersil jelas memberatkan pihak pembangkit/PLN. Sementara itu penggunaan dana APBN untuk suntik mati PLTU juga tidak adil bagi sektor lain yg membutuhkan APBN. Agenda global ini harusnya dipikul bersama tertutama peran negara maju sangat vital untuk membantu aspek pendanaan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat