Pemerintah dan PLN perlu transparan



Rencana penyederhanaan golongan tarif listrik tidak terlalu urgen untuk dikerjakan, walau memang hal ini berdampak positif bagi adminitrasi PLN. Keinginan untuk menggenjot konsumsi listrik menjadi salah satu alasan rencana ini.

Pemerintah perlu memberikan pencerahan soal efisiensi energi bagi konsumen. Dengan harapan, rencana penyederhanaan golongan tarif listrik tidak membuat konsumen menjadi boros.

Pemerintah bakalan melakukan penyederhanaan golongan listrik. Rencananya, yang akan disederhanakan adalah golongan listrik pelanggan 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 VA, 4.400 VA agar bisa memakai maksimal daya sampai 5.500 VA.  


Walau sempat jadi polemik karena golongan 900 VA masuk ke dalam skema penyederhanaan, pemerintah memastikan penyederhanaan golongan tarif listrik untuk rumah tangga tidak berlaku bagi penerima subsidi. Nah, seperti apakah dampak dari penyederhanaan ini?

Direktur Institute for Essential Services Reform (IER) Fabby Tumiwa menilai, penyederhaan membuat golongan tarif menjadi lebih sederhana dan tak rumit. Tapi menurut Fabby, penyederhanaan ini tidak terlalu urgen.

Ia melihat, rencana penyederhanaan golongan tarif listrik ini lebih untuk menggenjot pemakaian listrik dari konsumen. Fabby mengatakan, memang ada penurunan tren penggunaan listrik. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan listrik PLN.

Alasan lain penyederhanaan golongan tarif listrik ini adalah proyek listrik 35.000 MW yang dijalankan oleh pemerintah. Jika memang rencana ini berjalan, menurut Fabby,  ada beberapa catatan yang harus dijalankan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta dan PT PLN (Persero).

Bagaimana pandangan Fabby terhadap rencana ini? Wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo mewawancarai Fabby pada Rabu (15/11). Berikut nukilannya.

KONTAN: Bagaimana Anda menilai rencana pemerintah menyederhanakan golongan tarif pelanggan listrik? FABBY: Penyederhanaan kelompok tarif pelanggan rumah tangga sebenarnya sudah dibahas lama. Tetapi baru kali ini sepertinya dipertimbangkan dan menjadi target Kementerian ESDM dan PLN. Saya melihat tujuannya adalah memperluas penggunaan perangkat listrik, seperti kompor induksi, motor listrik dan sebagainya, oleh konsumen. Tentu, ini bertujuan menaikkan konsumsi listrik hingga dapat menaikkan konsumsi listrik nasional.

KONTAN: Apakah latar belakangnya memang soal menggenjot konsumsi listrik? FABBY: Latar belakangnya mungkin ada dua. Yang pertama, ada penurunan tren pertumbuhan permintaan listrik, dari rata-rata 7% hingga 8% per tahun, menjadi rata-rata 4% dalam tiga tahun terakhir.

Lalu yang kedua, dengan pembangunan pembangkit listrik, diperkirakan PLN akan mengalami overcapacity pada 2019-2020 mendatang. Ini ditandai dengan tingginya reserve margin pembangkit di sistem di Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali, jika pertumbuhan listrik melambat.

KONTAN: Jadi ada ketakutan PLN tidak bisa menjual seluruh listrik yang dihasilkan? FABBY: Ada kekhawatiran PLN tidak mampu menjual kapasitas terpasang listriknya, terutama dari pembangkit-pembangkit baru. Jika PLN tidak dapat menjual, peningkatan penerimaan PLN akan berkurang, hingga bisa membuat PLN tidak dapat memenuhi kontrak capacity payment dengan pembangkit swasta atau independent power producer (IPP).

Tentu, ada pertimbangan lain seperti ketersediaan perangkat listrik yang semakin banyak dan wacana pemanfaatan motor listrik, mobil listrik serta kompor listrik.

Beberapa hari ini, kita mendengar Kementerian ESDM mendorong masyarakat menggunakan kompor listrik menggantikan kompor LPG dengan tujuan mengurangi impor LPG. Jadi, ada faktor internal dan eksternal PLN.

KONTAN:  Jadi rencana ini ada kaitannya dengan proyek listrik 35.000 MW? FABBY: Program 35.000 MW memang bertujuan membangun pembangkit, agar pasokan listrik memadai. Ini menyebabkan PLN akan memiliki reserve margin yang tinggi. Walaupun memang program 35.000  dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7% dan pertumbuhan listrik 9%.

KONTAN: Seberapa urgen penyederhanaan dilakukan sekarang ini? FABBY: Urgensi sebenarnya tidak ada, dari sudut pandang konsumen listrik. Tetapi, tidak salah juga mengusulkan penyederhanaan kelompok tarif rumah tangga untuk mengantisipasi tren ke depan, yaitu peningkatan konsumsi listrik.

KONTAN:  Apa keuntungan untuk konsumen dari penyederhanaan ini? FABBY: Keuntungan yang jelas adalah konsumen PLN yang membutuhkan kenaikan daya tersambung di rumahnya tidak perlu mengajukan permintaan dan mengurus serta membayar biaya.

Sejauh ini, pernyataan yang keluar adalah pelanggan tidak akan dikenakan biaya. Dengan daya tersambung yang lebih tinggi, konsumen juga memiliki kebebasan lebih dalam menggunakan listrik. Sebelumnya, mungkin dengan adanya kapasitas tersambung yang rendah, konsumen tidak memiliki kebebasan atau keleluasaan yang besar.

KONTAN: Apakah ada kerugian untuk konsumen? FABBY: Kerugian konsumen sebenarnya hampir tidak ada. Kecuali, memang kemungkinan terjadinya pemborosan penggunaan listrik.

Pelanggan yang kurang cermat dan hati-hati dapat menggunakan listrik yang tidak dibutuhkan, hingga harus membayar lebih mahal. Jika ini terjadi maka bisa saja pembayaran listrik mengambil posisi belanja rumah tangga yang lebih besar.

KONTAN: Jika memang benar konsumen tidak akan dikenakan biaya, apakah hal ini akan membebani keuangan PLN? FABBY: Seharusnya konsumen atau pemerintah tidak membayar penggantian MCB (miniature circuit breaker) di meteran listrik. Karena kebijakan ini menguntungkan PLN, sudah sepantasnya PLN yang membayar biaya investasinya.

Konsumen bertanggung jawab terhadap instalasi listrik di dalam rumah. Jika instalasi yang ada sekarang tidak mampu mengalirkan arus sampai dengan 15  ampere atau 20 ampere, maka konsumen harus melakukan upgrading instalasi rumah, yang menurut saya biayanya cukup mahal.

Ini perlu diketahui masyarakat dan perlu jadi pertimbangan Kementerian ESDM. Harus dilihat lagi perhitungan PLN, besaran investasinya berapa? Karena diharapkan, investasi tidak hanya untuk pergantian, tetapi juga peningkatan kualitas. Biayanya memang mahal dan bisa membebani keuangan PLN.

KONTAN: Bagaimana Anda melihat penggolongan tarif listrik yang sekarang ada? FABBY: Yang sekarang, golongan tarif cukup banyak dan tidak diperlukan karena tarif untuk golongan tarif R1-1300 ke atas, R2 dan R3 sudah sama. Jadi penyederhanaan golongan R1, R2 dan R3 membuat PLN lebih mudah dalam mengelola administrasi serta dalam menetapkan tarif tenaga listrik.

KONTAN: Anda setuju penyederhanaan golongan ini? FABBY:  Ya saya setuju dengan catatan-catatan yang ada dan komunikasi publik yang baik dan edukasi konsumen. Pemerintah dan PLN perlu transparan dengan rencana ini.

KONTAN: Apa saja yang menjadi catatan untuk Kementrian ESDM dan PLN jika memang benar menjalankan penyederhanaan ini? FABBY:   Kementerian ESDM sebagai regulator memang harus memastikan keandalan dan kualitas pasokan listrik yang lebih baik. Program ini sebenarnya punya konsekuensi bagi PLN, yaitu memperbaiki kualitas di jaringan distribusi tegangan rendah.

Dengan adanya kenaikan daya terpasang, perlu ditingkatkan kapasitas trafo-trafo dan kemampuan jaringan melayani kebutuhan daya yang besar yang muncul. Selama ini masih ada perbedaan kualitas listrik yang didistribusikan PLN kepada masyarakat.

Misal, kualitas listrik di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang berbeda dengan listrik untuk wilayah di luar Pulau Jawa. Kementerian ESDM sebagai regulator jangan hanya berbicara soal kenaikan daya, namun tidak mendorong peningkatan kualitas.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendorong efisiensi energi dan meregulasi standar perangkat rumah tangga, hingga tidak ada pemborosan listrik.

KONTAN: Jika program ini bisa membuat konsumen boros listrik, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mencegahnya? FABBY: Saya kira pemerintah harus mendorong efisiensi energi karena menghemat energi lebih murah daripada menambah kapasitas pembangkit baru. Ini yang harus disadari oleh menteri.

KONTAN: Kalau untuk konsumen, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah pemborosan listrik? FABBY: Tidak menggunakan listrik, kalau tidak perlu. Kalau membeli perangkat listrik, cari yang konsumsi daya listrik paling rendah untuk kualitas layanan yang sama. Tentu, selalu memastikan menghemat konsumsi listrik.

KONTAN: Bagaimana Anda melihat proyek 35.000 MW? FABBY: Proyek 35.000 MW pasti tidak akan tercapai pada 2019. Walau memang kita tidak membutuhkan seluruh kapasitas itu pada 2019-2020. Ini yang saya bilang bahwa Kementerian ESDM seharusnya tidak hanya memikirkan menambah daya, tetapi juga kualitas.

KONTAN: Bagaimana kinerja ESDM dan PLN dalam menyediakan pasokan listrik? FABBY: Kinerja ESDM dan PLN dalam meningkatkan pasokan listrik dan mengurangi defisit pasokan listrik saya kira cukup baik. Tingkat rasio elektrifikasi meningkat cepat, pasokan listrik di 23 sistem PLN dalam keadaan surplus, dan ada perbaikan waktu penyambungan listrik baru. Saya kira ini positif.

Tetapi kalau ditinjau dari efektivitas regulasi kelistrikan dan penyediaan pasokan listrik yang berkualitas di seluruh Indonesia, masih banyak yang perlu diperbaiki. Harus kerja keras untuk memastikan tegangan dan frekuensi listrik yang stabil serta meningkatkan reliabilitas.

KONTAN: Menteri Keuangan sempat mengeluhkan kondisi keuangan PLN. Bagaimana Anda melihatnya? FABBY: Pertumbuhan penerimaan PLN memang melambat. Ada peningkatan beban usaha untuk menyediakan listrik. Tingkat keuntungan pun lebih rendah daripada tahun lalu. Jadi bisa dikatakan performa keuangan PLN dilihat dari sisi arus kas atau cash flow tidak terlalu bagus untuk saat ini.

Apalagi, jika tarif listrik tidak naik pada tahun depan, dan kemungkinan biaya produksi yang meningkat, seiring dengan meningkatnya biaya energi primer, utang jangka pendek dan menengah yang jatuh tempo akan naik. Ini bisa jadi tekanan bagi PLN di tahun 2018.

--

Biodata: Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform

Riwayat pendidikan: - S1 Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Riwayat pekerjaan: - Anggota delegasi Indonesia untuk konferensi perubahan iklim - Anggota kelompok kerja pendanaan iklim dan negosiasi internasional pada Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) - Anggota kelompok kerja sektor energi dalam Dewan Pengarah Perubahan Iklim - Anggota dewan amanat Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) - Anggota satuan tugas Sumba Iconic Island di bawah Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral - Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) o

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Rubrik Dialog Tabloid KONTAN edisi 20 November -26 November 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Pemerintah dan PLN Perlu Transparan"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga