Pemerintah Didorong Evaluasi Harga Gas Bumi US$ 6 Per MMBTU, Ini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha industri gas bumi mendorong pemerintah mengkaji kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBTU yang diberikan pada sejumlah sektor industri.

Chairman Indonesia Gas Society Aris Mulya Azof bilang evaluasi perlu dilakukan untuk mengoptimalkan potensi gas dalam masa transisi energi.

Menurutnya, kebijakan harga gas khusus tersebut memang memberikan dampak pada peningkatan daya saing industri hilir. Akan tetapi, target pengembangan industri hilir dan peningkatan penerimaan negara dari sisi perpajakan dinilai belum tercapai.


Selain itu, ketentuan penetapan industri penerima pun diharapkan juga ikut mempertimbangkan sektor hulu.

Baca Juga: Perusahaan Gas Negara (PGAS) Kian Ngegas Saat Permintaan Naik

"Mungkin ada pertimbangan bagaimana harga US$6 per MMBTU dapat sedikit lebih tinggi sehingga harga tersebut bisa juga berpihak pada sektor hulu. Pengorbanan pemerintah (di hulu) belum sebanding dengan manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir," kata Aris dalam Siaran Pers, Kamis (16/3).

Aris menambahkan, evaluasi HGBT sebesar US$ 6 per MMBTU perlu dilakukan untuk menghitung ulang efek berganda yang diciptakan.

Berdasarkan data LPEM Universitas Indonesia kontribusi perpajakan tujuh industri yang mendapatkan HGBT memang mengalami peningkatan tipis dari 2020, yaitu sebesar Rp 13.323 miliar menjadi Rp 15.896 miliar pada 2021. Namun dari sisi lain ternyata terjadi penurunan, misalnya pada tahun 2020 realisasi investasi di sektor hilir menurun dari Rp 120.059 miliar menjadi Rp 93.521 miliar.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, pemerintah perlu melihat kondisi yang ada secara lebih luas. Menurutnya, peranan industri migas masih akan diperlukan ke depannya kendati pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) juga terus digenjot.

"Kita punya gas harus dioptimalkan dan dijaga supaya jangan sampai kebijakan HGBT ini membuat potensi gas bumi Indonesia tidak teroptimalisasi," jelas Komaidi.

Baca Juga: PGN Jalankan Roadmap Konversi BBG untuk Sektor Transportasi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association Marjolijn Wajong mengatakan, saat ini investor migas cenderung lebih selektif dalam menempatkan investasi di suatu negara. 

Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas global telah membagi portofolio investasi mereka antara energi dan enegri baru terbarukan. 

“Dengan berkurangnya porsi investasi di energi fosil, investor harus benar-benar mempertimbangkan dimana mereka akan berinvestasi. Hal ini harus termasuk menjadi pertimbangan semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah agar produksi gas bumi tetap terjaga dan tidak terjadi krisis energi,” kata Marjolijn.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .