Pemerintah Diminta Buat Aturan Tentang Konflik Kepentingan Penyelenggara Negara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menelusuri pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang memiliki saham di perusahaan konsultan pajak. Sebab, hal itu dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi terjadinya gratifikasi maupun suap dalam pengurusan pajak.

Manajer Penelitian dan Advokasi, Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi. Namun, masih ada peraturan yang belum sejalan sesuai konvensi tersebut. Salah satunya terkait konflik kepentingan.

Wawan menyebut, satu-satunya pengaturan konflik kepentingan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi hanya konflik kepentingan terkait pengadaan barang dan jasa.


“Dan yang tidak terkait barang dan jasa, konflik kepentingan menjadi tumpul dan menjadi seolah olah diperbolehkan, legal,” ujar Wawan saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (10/3).

Baca Juga: Punya Saham di 280 Perusahaan, KPK Serahkan Data 134 Pegawai DJP ke Kemenkeu Hari Ini

Wawan menyebut, pengaturan konflik kepentingan secara komprehensif penting. Misalnya, ketika ada pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai saham di perusahaan konsultan pajak.

“Yang dilakukan pegawai pajak ini sangat gamblang di depan mata, ini perlu lebih tegas lagi. Karena memiliki saham di konsultan pajak. Padahal, kita tahu bahwa mereka bekerja untuk memungut pajak, tetapi mereka juga punya saham sebagai konsultan pajak,” ungkap Wawan.  

Wawan menilai, pengaturan konflik kepentingan perlu diatur secara tegas dalam suatu undang-undang. Menurutnya pengaturan tersebut bisa masuk dalam revisi UU Tindak Pidana Korupsi yang sudah 20 tahun lebih tidak direvisi.

“Saya kira untuk pengendalian konflik kepentingan harus selevel UU,” kata Wawan.

Selain itu, lanjut Wawan, mesti ada pengaturan mengenai pemulihan aset dan/atau Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. UU itu diperlukan untuk merampas aset hasil tindak pidana. Misalnya dari tindak pidana pencucian uang.

Sebab, dari konflik kepentingan berpotensi terjadinya gratifikasi dan/atau suap. Lalu, dari gratifikasi dan/atau suap dapat berpotensi pada perilaku pencucian uang.

Wawan juga menilai perlu adanya pengaturan tentang perolehan kekayaan penyelenggara negara yang didapat dengan cara cara yang tidak sah. Hal itu sebagai salah satu upaya untuk memerangi praktik-praktik penyelenggara negara yang tidak berintegritas.

Selanjutnya, Wawan mengatakan, perlu adanya penguatan pengawas internal seperti Inspektorat Jenderal. Maupun penguatan pengawas eksternal seperti KPK dan PPATK. Penguatan dilakukan agar pengawas dapat mengusut kekayaan penyelenggara negara yang diperoleh secara tidak wajar dan melakukan pemulihan aset terkait tindak pidana.

“Satu eskalasi peraturan perundang-undangan, yang kedua implementasi dan penegakan hukumnya. Ngga bisa kalo misalnya UU nya ada terus penegakan hukumnya lemah,” jelas Wawan.

Dihubungi secara terpisah, Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi, Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, adanya pegawai Ditjen Pajak yang juga memiliki saham dalam perusahaan konsultan pajak, jelas mengandung potensi konflik kepentingan.

Menurutnya, Kementerian Keuangan seharusnya mempunyai mekanisme penanganan konflik kepentingan. Harus didata pegawainya yang tercatat sebagai pemilik saham dan terafiliasi dekat dengan perusahaan mana saja, misalnya dimiliki oleh keluarga.

“Terkait perusahaan yang ruang lingkup bisnisnya dekat dengan jabatan di Kemenkeu, seharusnya ada larangan. Misalnya, pegawai di dirjen pajak punya saham di perusahaan konsultan pajak,” ucap Almas.

Baca Juga: Terdapat 134 Pegawai Ditjen Pajak Punya Saham di 280 Perusahaan, Ini Respons Kemenkeu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat