KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkap permasalahan industri pariwisata terkait aktivitas online travel agent (OTA) asing di Indonesia. Keberadaan OTA asing yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia membuat mereka tidak mengikuti regulasi yang ada. Contohnya adalah membebankan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pajak komisi kepada pihak hotel, yang tentu merugikan sektor akomodasi lokal. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, dalam transaksi penjualan voucher hotel, OTA asing seharusnya menjadi pihak yang memungut dan menyetor PPN ke pemerintah, bukan hotel.
"Ketika OTA asing membeli (voucher) dari hotel dan menjual kembali kepada konsumen, mereka harus menerbitkan faktur yang mencantumkan PPN. Ini menjadi masalah jika pajak tersebut tidak dipungut oleh OTA," ujar Nailul dalam keterangan pers, Selasa (29/10).
Baca Juga: Ancol (PJAA) Targetkan Kunjungan 11 Juta Wisatawan pada 2024 Nailul menambahkan, terkait pajak OTA seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk melakukan penegakan aturan yang lebih tegas. Ia juga menggarisbawahi bahwa diskon yang sering ditawarkan OTA asing dapat merugikan hotel. "Diskon yang diberikan OTA berasal dari keuntungan pajak yang tidak mereka bayar, sementara hotel tetap harus membayar PPN meskipun harga sudah dipotong," jelas Huda. Hal ini membuat posisi hotel semakin sulit, karena mereka tidak hanya bersaing dengan harga. Akan tetapi juga harus menanggung beban pajak yang seharusnya menjadi tanggung jawab OTA. Lebih lanjut, Huda menekankan perlunya pengaturan yang lebih jelas mengenai siapa yang memungut, siapa yang dipungut, dan siapa yang membayar pajak. "Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang memastikan bahwa OTA asing yang beroperasi di Indonesia harus mematuhi aturan pajak yang berlaku," ujarnya. Dampak dari situasi ini, menurut Huda, bisa bermanfaat bagi industri pariwisata secara keseluruhan karena semakin banyaknya orang yang bepergian. Namun, di sisi lain, OTA lokal akan mengalami dampak negatif karena pangsa pasar mereka tergerus oleh OTA asing. Dalam menghadapi tantangan ini, Huda mengingatkan bahwa pengelolaan pajak yang baik akan berkontribusi pada keberlangsungan industri pariwisata di Indonesia. "Dengan pengaturan yang tepat, industri pariwisata dapat berkembang lebih baik, memberikan manfaat bagi semua pihak, termasuk konsumen dan pelaku usaha lokal," terang dia.
Baca Juga: 100 Hari Kabinet Prabowo, PHRI Minta Implementasi OSS Diperbaiki Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan, permasalahan regulasi dan birokrasi kerap menjadi penghambat bagi para pelaku usaha pariwisata. Salah satu masalah utama adalah keberadaan OTA asing yang beroperasi tanpa Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Situasi ini merugikan sektor akomodasi, karena OTA asing tersebut tidak membayar pajak dan memberlakukan sistem parity rate yang membatasi harga jual hotel. "OTA asing ini tidak memiliki NPWP, jadi industri lokal yang akhirnya harus menanggung pajak sebesar 20%. Ini beban besar,” jelas Yusran. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat