JAKARTA. Pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan harga baru bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar periode April-Juni 2016 mengingat kondisi harga minyak mentah dunia yang masih fluktuatif, kata Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean. Penetapan harga untuk periode April-Juni 2016 tentu akan menggunakan rata rata Mean of Plats Singapore (MOPS) periode 25 Januari-24 Maret 2016 dengan kondisi harga minyak dunia yang jatuh pada titik terendah, ujar Ferdinand dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (17/3). "Akibatnya harga jual BBM akan jauh di bawah dan ini tentu menempatkan pemerintah dan Pertamina dalam zona yang kurang baik. Pasalnya, tren harga minyak dunia sekarang justru sedang naik dibandingkan periode Januari-Februari," katanya.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 39 Tahun 2014 menyebutkan perhitungan harga dasar BBM menggunakan rata-rata harga indeks pasar dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dengan kurs beli Bank Indonesia periode tanggal 25 hingga 24 bulan sebelumnya. Untuk harga BBM periode Januari-Maret 2016, formula yang digunakan adalah MOPS dan kurs rata-rata 25 September-24 Desember 2015. Hasilnya harga solar ditetapkan Rp5.650 per liter dan premium non Jawa-Madura-Bali (Jamali) Rp6.950 per liter untuk Jamali sebesar Rp7.050 per liter. Menurut Ferdinand, jika pemerintah menurunkan harga BBM sesuai dengan rata-rata MOPS periode Januari-Maret 2016, belum tentu penurunan tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. "Pemerintah tidak punya instrumen di lapangan ketika harga BBM turun, maka harga-harga bahan pokok ikut turun, termasuk biaya angkutan," kata dia. Ia mengusulkan agar pemerintah mengubah kebijakan dan regulasi penetapan harga BBM. Ada dua opsi yang bisa dipilih, yaitu murni harga pasar atau sistem flat patokan harga BBM dengan penetapan batas atas dan batas bawah. Karena mekanisme harga pasar dilarang konstitusi, pilihan harus jatuh kepada harga flat patokan harga dengan batas atas dan batas bawah. "Patokan harga juga jangan lagi menggunakan rata-rata MOPS akan tetapi menggunakan asumsi harga minyak mentah dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Ini lebih baik daripada kita mengacu pada MOPS," kata Ferdinand. Sistem harga flat, lanjut dia, dengan patokan harga ini ditentukan dengan komponen utama harga minyak mentah (crude) yang ditetapkan dalam APBN dan kurs rata rata. Kemudian ditetapkan batas atas dan batas bawah sekitar 5-10 persen. Sepanjang fluktuasi harga masih berada di kisaran batas bawah dan atas maka harga tidak perlu dievaluasi. Evaluasi harga hanya bisa dievaluasi apabila harga sudah melampaui batas atas atau bawah yang ditetapkan. Model ini lebih efektif dan lebih tepat agar tidak selalu timbul gejolak sosial akibat harga BBM. "Semua keuntungan yang didapat Pertamina atau pemerintah harus ditetapkan sebagai dana stabilisasi energi dan dana pengembangan energi baru terbarukan. Tinggal dibagi saja persentasinya," kata Ferdinand.
Pengamat energi lainnya Komaidi Notonegoro yang juga Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan formula harga BBM sudah diatur dalam Permen ESDM dan Kepmen ESDM. Tinggal kemudian, evaluasi dan penetapannya dilakukan bulanan, dua bulanan, atau tiga bulanan. "Prinsipnya harga saat ini adalah rata-rata dari sebelumnya berapapun itu periodenya," kata dia. Menurut Komaidi, untuk masyarakat dan dunia usaha tentu yang diharapkan adalah kepastian harga BBM. Untuk formula perhitungan harga tidak ada yang kaku, apalagi saat ini Indonesia sudah menjadi net importir dan tinggal menunggu waktu untuk menuju ke harga keekonomian. "Asal harga BBM wajar sesuai prinsip ekonomi sudah baik bagi semuanya. Untuk masyarakat yang belum berdaya beli perlu dicarikan solusinya, tetapi tidak harus terus mempertahankan rezim subsidi BBM karena tidak baik dalam jangka panjang," ungkap dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan