KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan situasi ekonomi dunia yang tidak stabil, kondisi ekonomi di banyak negara berkembang ikut terpapar. Bukan tak mungkin hal ini ikut merembet ke Indonesia. Potensi krisis sendiri tidak pandang bulu menerpa ekonomi negara manapun. Sebagaimana sebuah rantai ekonomi dunia, semua saling terkait antara hubungan-hubungan bilateral maupun multilateral. Perdagangan timah sebagai salah satu komoditas Indonesia juga tak lepas dari risiko. Abi Rekso pengamat perdagangan Asia Tenggara pun memberikan sebuah rekomendasi kepada pemerintah. Baca Juga: Ini dampak corona terhadap rencana bisnis emiten tambang batubara Dirinya menilai bahwa dalam menghadapi potensi krisis, semua potensi sumber pendapatan ekonomi harus dikapitalisasi. Termasuk timah yang merupakan salah satu komoditi yang selama ini menjadi sumber pemasukan pemerintah dari neraca perdagangan. "Empat tahun belakangan, timah adalah komoditi primadona dalam negri. Sejak 2016-2018, harga timah ada pada posisi positif sekitar US$ 20.000 per metrik ton. Dan di awal 2020, harga timah merosot pada US$ 15.000 per metrik ton. Ditaksir kita mengalami kerugian sekitar Rp 5,6 triliun pada neraca perdagangan tahun ini," kata Abi Rekso dalam keterangannya, Jumat (27/3). Ia melihat hal ini semakin tertekan dengan terbaginya bursa perdagangan timah di Indonesia. Pada akhir 2019 Mendag Enggar membatalkan Peraturan Menteri Perdagangan No.32/M-DAG/Per/6/2013 tentang Ekspor Timah. Dimana hal itu berkonsekuensi menjadikan dualisme bursa Timah Indonesia Ketika terjadi bipolar perdagangan timah di Indonesia, maka banyak pembeli yang merasa bingung atas kebijakan tersebut. Di waktu yang sama pembeli timah Indonesia, kian beralih ke pasar perdagangan timah Singapura.
Pemerintah diminta kaji ulang kebijakan perdagangan timah
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan situasi ekonomi dunia yang tidak stabil, kondisi ekonomi di banyak negara berkembang ikut terpapar. Bukan tak mungkin hal ini ikut merembet ke Indonesia. Potensi krisis sendiri tidak pandang bulu menerpa ekonomi negara manapun. Sebagaimana sebuah rantai ekonomi dunia, semua saling terkait antara hubungan-hubungan bilateral maupun multilateral. Perdagangan timah sebagai salah satu komoditas Indonesia juga tak lepas dari risiko. Abi Rekso pengamat perdagangan Asia Tenggara pun memberikan sebuah rekomendasi kepada pemerintah. Baca Juga: Ini dampak corona terhadap rencana bisnis emiten tambang batubara Dirinya menilai bahwa dalam menghadapi potensi krisis, semua potensi sumber pendapatan ekonomi harus dikapitalisasi. Termasuk timah yang merupakan salah satu komoditi yang selama ini menjadi sumber pemasukan pemerintah dari neraca perdagangan. "Empat tahun belakangan, timah adalah komoditi primadona dalam negri. Sejak 2016-2018, harga timah ada pada posisi positif sekitar US$ 20.000 per metrik ton. Dan di awal 2020, harga timah merosot pada US$ 15.000 per metrik ton. Ditaksir kita mengalami kerugian sekitar Rp 5,6 triliun pada neraca perdagangan tahun ini," kata Abi Rekso dalam keterangannya, Jumat (27/3). Ia melihat hal ini semakin tertekan dengan terbaginya bursa perdagangan timah di Indonesia. Pada akhir 2019 Mendag Enggar membatalkan Peraturan Menteri Perdagangan No.32/M-DAG/Per/6/2013 tentang Ekspor Timah. Dimana hal itu berkonsekuensi menjadikan dualisme bursa Timah Indonesia Ketika terjadi bipolar perdagangan timah di Indonesia, maka banyak pembeli yang merasa bingung atas kebijakan tersebut. Di waktu yang sama pembeli timah Indonesia, kian beralih ke pasar perdagangan timah Singapura.